ANTARA "...waladhoolliin" dan "aamiin"

Tilawah imam tmpt saya bermakmum terlantun dgn baik dlm kerangka skala minor harmonik. Pada kisaran nada-nada yg kental dialektika timur-barat itulah beliau menegaskan ayat-ayat suci dlm balutan tempo santai dan dinamika sedang. Terdengar sangat damai dan menenangkan. Dan tibalah sang imam pada penghujung phrase dlm Ummul Qur'an : yg mensunnatkan jamaah untuk menggaungkan amin, tdk terkecuali saya. Serentak gemuruh aminpun menggema.

Saya turut lantang mengamini meski dgn suara datar tanpa intonasi. Benar2 seperti murni ''mengucap" kata, tanpa dihiasi nada. Bacaan imam yg melengking cukup tinggi menjadikan 'amin' para makmum trdengar tidak sama rata dlm nada. Terjadi semacam missunderstanding dan dispersepsi antara '.. waladhoolliin' imam dgn 'amin'-nya makmum. Ini mungkin saja mnjd pengalaman unik bagi sebagian hadirin yg berjamaah disana, stdknya buat saya sbg slh satunya. Slepas jumatan, sy cb mngingat2 kembali fenomena unik dlm agenda wajib berjamaah tersebut, untuk ditelaah dan untuk mencari hikmah tentunya.


Sejujurnya, tadi saya mmg agak kesulitan meng-amini sebagaimana lazimnya. Mmg agk sukar bagi makmum berjenis suara bariton tanggung sprti saya ini untuk 'in tune' dlm tilawah imam yg (mnrt dugaan saya) berjenis (suara tinggi) tenor1 itu. Sementara tilawah itu dilantunkan pada nada dasar yg dirasa 'krg netral', yakni la = F#. Tak ada masalah pd sisi imam. Adalah sgt alami bhw kita gandrung trhdp enaknya bunyi, keindahan suara. Soal kait mengait dan persinggungannya dgn ritual peribadatan, kerohanian dan lain sbagainya itu tentu lain cerita.

Dan kecenderungan kurang baiknya adalah bhw kita kerap menentukan figur pemimpin ibadah shalat berjamaah kita hanya berdasarkan indahnya lantunan lagu atau bakat artistiknya saja. Padahal tak ada satupun kriteria, kategori dan syarat (mnjd imam) yg berkaitan lgsg dgn hal itu : (aspek seni). Nada-irama dan bakat seni yg melekat pada seorg muslim yg layak diangkat sbg pemimpin shalat bukanlah hal yg utama, bukankah yg terpenting adalah spiritualitas (baca : keshalihan) dan sebesar apa kepercayaan kita untuk mmberinya amanah besar itu, dan tentu saja mmprhitungkan lisannya (fashohah). Melantunkan ayat dgn datar-pun akan tetap benar dan selalu sah. Maka meng-amini dgn 'datar saja' merupakan reaksi cepat dan keputusan tepat bg saya dalam jumatan yg indah siang tadi. Untuk tdk menyikapinya secara 'terlalu artistik, scientifik, apalagi musikal'. Allahummahdina, amin #hikmah_jumat

(: Sedia 'tuner' sblm hujan :)

https://www.facebook.com/notes/si-roy-haris-chandra/antara-waladhoolliin-dan-aamiin/

Tidak ada komentar: