ROCK, SOUND AND SOCIAL MOVEMENT

oleh : Roy Haris Chandra

FENOMENA BESAR ABAD 20 : (R)EVOLUSI MUSIK, ROCK DI GARDA DEPAN   

Rock adalah suatu “konteks, tema,watak, karakteristik, paham, aliran, sistem, teknik, jenis, tipe, model, kategori, corak, warna, rupa, bentuk dan gaya musikal”, lahir dan berkembang di benua Amerika.  Mayoritas pendapat mengatakan bahwa awal kemunculannya adalah pada kuartal pertama dari abad ke-20. Sebagaimana banyak jenis musik lainnya di Amerika, ibu kandung musik rock adalah blues, yang merupakan“anak nakal”-nya musik (ballad) klasik. Oleh karena itu, membahas rock berarti juga membicarakan blues ; sebagai akar “musik populer” (Amerika). Musik blues berakar dari musik tradisional belahan barat Afrika yang dipadu padankan dengan tradisi musik klasik Eropa-Kristiani ; sebagai budaya yang di anti-tesa-kannya(baca : diberontak). Blues juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya melawan hegemoni Eropa, kultur dominan pada masa itu. Sekurang-kurangnya, pemberontakan dengan cara (dan dalam hal) artistik. Menentang “Kristen”, melawan estetikanya; dalam nuansa pergerakan yang kooperatif. Di era rasisme tersebut blues tidakhanya sebuah tipe musik tapi juga bentuk pola pikir dan jalan hidup bagi banyakAfro-Amerika (masyarakat kelas pekerja/budak, yang konon mayoritasnya muslim) di era itu. Blues menjadi medium ekspresi dan gaya musik yang khas dan mandiri ditengah pertentangan borjuis-proletar. Kemunculan dan perkembangan musik rockjuga tidak bisa dilepaskan dari blues serta dinamika pergerakan sosial masyarakat kulit hitam di Amerika. Pada perkembangannya, blues kemudian tidak hanya terbatas bagi mereka yang Afro-Amerika saja, tapi juga digemari di kalangan kulit putih  (meski diapresiasi/difungsikan secara eksklusif, serampangan). Walhasil, “milik kulit hitam” tersebut lagi-lagi “dirampas”kulit putih, bolak-balik dibawa dari Amerika ke Inggris dan sebaliknya.
Rock adalah (istilah) musik yang sangat luas, berbagai unsur musik lain sudah berbaur di dalamnya. Musik rockadalah popular music, hasil dari dialog antar tradisi musik warga Amerika (antar warga keturunan), yakni keturunan kulit hitam Afrika dengan keturunan kulit putih Eropa yang masing-masing sudah memiliki tren musik sendiri-sendiri secara mandiri ; sebagai “musik baru” asli Amerika, dan pastinya sebagai buah keturunan dari blues. Afro-Amerika dengan blues a lakota dan kulit putih dengan country-nya adalah dua energi besar yang pada kali itu terus bersinergi. “Pertikaian antarbapak” berakhir dengan “persahabatan antar anak-cucu”. Hubungan dialogis antara keduanya menyebar di berbagai lokal dan menghasilkan banyak style. Dinamika tersebut mirip dengan yangada pada perkembangan musik populer di Indonesia, yakni bertemunya  musik populer khas India proyek impor-an orde lama dengan musik melayu asli Indonesia, lalu melebur menjadi dangdut dengan berbagai gayanya.

Mari mundur lagi sebentar,mengilas balik musik rock. Secara artistik-musikal, pengaruh terkuat yang membentuk rock adalah blues dan country. Blues berakar dari musik (vokal) tradisi Afrika Barat ; yang kuat terkena pengaruh budaya musik Arab-Islam. Sementara country terpengaruh besar oleh musik gospel dan polka (musik tari) Eropa, Inggriskhususnya, dan juga pengaruh blues itu sendiri ; sebagai genre yang waktu itu sudah mandiri. Secarakultural-spiritual, baik blues maupun country, keduanya sama-sama berangkat dari tradisi musik (bernuansa) kerohanian, yang dicirikan oleh gaya vokal yang khas, kemudian bersama-sama beralih menjadi sekuler, menjadi profan, menjadi hiburan dan alat propaganda. Gaung estetikanya bukan lagi musik seni, “seni untuk seni itu sendiri” sebagaimana yang subur di Eropa pada era-era musik klasik. Selanjutnya, Country berkembang gayanya menjadi boogie woogie, boogie woogie beralih menjadi rockabilly. Seiring dengan persinggungan eratnya dengan blues kota-an (Delta-Missisipi blues), rockabilly lanjut bermetamorfosa menjadi rockn roll. Istilah rock n roll mengacu pada musik yang sarat dengan gerakan tari dan pesta pora. Rock n roll inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya “genre induk” baru yang besar yang kita kenal sebagai rock ; dengan berbagai sub-genrenya. Lagi-lagi, theyt hanks to blues. “Blues is the root,the other is the fruits”, begitu bunyi ungkapan yang kerap didengungkan. Perjalanan beragam jenis musik (populer) yang ada saat ini tidak lepas dari pengaruh blues.

Dalam rentang waktu yang relatif berdekatan dengan pertumbuhan musik rock, di Amerika berkembang pula aliran-aliran lain yang sama-sama berstatus sebagai “anak sungai” musik blues, masing-masing juga berdiri sebagai gaya baru yang mandiri, khas dan besar, diantaranya adalah jazz dan R n B. Di belahan luar Amerika lahir pula reggae, anak sulung dari putra ke-tiga kesayangan blues itu ; R nB, begitulah pengandaiannya. Di sisi lain, jazz, R n B, hip hop dan genre pop mainstream berkembang terpisah kala rock menjadi sangat industrial (terutama di tangan kulit putih). Karena watak artistik dan corak wacananya yang revolusioner, rock kemudian berdiri di garda depan perkembangan musik populer global, di dunia yang kala itu sedang “dilanda” post-modernisme dengan berbagai problematikanya.

Tulisan yang agaknya lebih tepatdisebut sebagai suatu "renungan yang mungkin berguna" ketimbang disebut sebagai karya ilmiah ini mudah-mudahan bisa dijadikan acuan untuk kita bertukar pikiran . Rock, sebagai sebuah topik yang besar, pastinya terlalu luasuntuk dibahas tuntas dalam satu tulisan mungil yang mudah-mudahan senantiasa ng’rock ini. Sound adalah penyuaraan, hakikatnya murni tetap sebagai sebuah gejala fisikawi. Wacana pengembangan suara sebagai bagian dari kehidupan fisik dan psikis terus digali melalui ilmu pengetahuan ; sains dan teknologi. Musik, yang merupakan penyuaraan bunyi dan gagasan serta komunikasi batin adalah aktualisasi konteks pada histori dan sosialitas manusia.

Rock dan turunannya

Bila dilihat dari lingkup musik populer secara umum, maka tidak ada batasan yang ketat untuk menentukan apa itu musik rock, termasuk mengenai mana yang rock dan mana yang bukan, sehingga tidak ada kriteria resmi. Sulitnya melihat batasan yang jelas mengenai apa itu musik rock juga seringkali menambah sukarnya pembahasan yang berkaitan dengan terpecahnya rock menjadi cabang dan ranting, sehingga masing-masing pecahan/karya harus dilihat secara parsial.

Genre musik adalah pengelompokan musik sesuai dengan kemiripannya satusama lain. Musik juga dapat dikelompokan sesuai dengan kriteria lain, misalnya geografi. Sebuah genre dapat didefinisikan oleh teknik musik, gaya, konteks dan tema musik. Industri berperan besar dalam penamaan suatu genre dan sub-genre musik. Nama-nama genre, dipakai sebagai istilah pemasaran. Awalnya, istilah genre anu atau aliran itu bukanlah penamaan, namun lebih merujuk pada sebuah ciri dari lagu. Style musik kerapkali berangkat dari sebuah karya (based on piece). Berkaitan dengan pengkaryaan dan pengayaan gaya pada musik (populer)  yang industrial, seringkali muncul klaim atas “penemuan” suatu style baru oleh seorang atau sekelompok pelaku. Ada yang didapati memang merupakan khas dan unik dari kelompok/individu tertentu. Banyak juga klaim yang tidak bertanggungjawab. Klaim tersebut biasanya berawal dari “keterbatasan” pelaku akan suatu sistem dalam (kesenian) musik, kemudian mengembangkannya dalam lingkup pengertian dan cakupan yang sempit lalu mengklaim menemukan suatu khas yang baru, lantas memproklamirkannya sebagai sebuah style terkini dan mutakhir. Dalam budaya musik populer gejala ini sangat kentara, pada rock itu sudah menjadi “sindrom”. Fenomena unik lainnya misalnya saja adalah tren imitasi (baik dalam gaya ataupun karya), budaya covering  dan tradisi old school.

Seorang musisi/sebuah grup musik tertentu umumnya konstan mengusung salah satu gaya musik tertentu (genre). Dalam banyak konteks mereka juga melakukan pewarnaan dalam karya-karya dengan meminjam unsur-unsur dari (atausengaja menggunakan) gaya musik lain.  Dialog antar gaya tersebut kemudian menghasilkan khasbaru (sub-genre), yang spesifik pada era tertentu atau khas wilayah. Masing-masing gaya baru tersebut kemudian punya sejarah dan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Hal ini dapat terlihat jelas dalam karya-karya musisi di masing-masing lokal dan era. Masing-masing sub-genre ada trend setter-nya, setiap era ada pionir/tokoh sentralnya, bahkan sebagai kelanjutan dari pada itu : setiap posisi/peran(instrumen) juga jadi ada hero-nya. Ini berlaku umum (pada musik populer), rockpun begitu. Ada dua kiblat/gaya utama dalam rock ; American dan British. Tidak sedikit pula lagu rock yang akhirnya “belang-belang” secara gaya musikal.

Uraian barusan menunjukkan bahwa kesenian  itu sejatinya berkembang dan kadang lari-lari. Pada satu sisi, kesenian itu ada yang spesifik atau khas ; individu/kelompok tertentu, era atau wilayah, tapi di sisi lain ia juga sangat terbuka. Artinya, dalam berkesenian, sebetulnya ada pengadopsian dan penerimaan unsur-unsur keindahan dari mana saja. Tak ada obyek budaya yang benar-benar mandiri secara utuh, tak tekecuali kesenian musik. Saling mempengaruhi, memperkaya dan juga berbantahan satu sama lain, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Pola interaksinya sejalan dengan sejarah, politik, ekonomi dan spiritualitas suatu kelompok masyarakat pada masa dan lokal tertentu.

Ragam (istilah) aliranrock (berdasarkan kategori/bentuk utama, tidak historis)

Ø  Rockabilly

Ø  Rock n Roll (American & British Style)

Ø  Art Rock à Psychedelic, Neo Classical (terpengaruh tradisi eropa ; klasik & latin-gypsy), Progressive, Rock-Jazz, Gothic, Symphonic

Ø  Hard rock à Glam Rock, Slow Rock, Soft Rock, Classic Rock

Ø  Heavy metal à Speed Metal, Trash Metal, Power Metal, Hip Metal, Grindcore, Punk, Grunge

Ø  Nu metal à New Wave, Emo

(catatan : tanda ‘à’maksudnya “melahirkan” sub-genre utama)

Ada juga aliran-aliran rock yang merupakan perpaduan (beberapa) genre atau sub-genre rock yang sudah berkembang sebelumnya. Secara substansial, aliran-aliran campuran ini agaknya lebih cocok disebut sebagai perpanjangan style daripada sebagai sebuah “pembaruan” genre atau penemuan sub-genre baru, diantaranya adalah : Country Rock, Folk Rock, Blues Rock, Jazz Rock/Fussion, Post-Core, Post-Grunge, Progressive Metal, Progressive Power Metal, Progressive Fusion Metal, Black Metal, NSBM (Nasionalism-SosialismBlack Metal), Symphonic Black Metal, Viking Metal, Blackened Death Metal, Folk Metal, Melodic Black Metal, Doom Metal, Hardcore Punk, Indie Rock, Screamo, Pop Punk, Gothic Doom Metal, Gothic Operatic Power Metal, Groove Metal, Goregrind, Noisegrind, Pornogrind, Power Violence, Crustgrind, Cybergrind, Deathgrind, Crust Punk, Industrial Metal, Sludge Metal, Rapcore, Aggro Rock, Christian Rock, Desert Rock, Detroit Rock, Experimental Rock, Garage Rock, Heartland Rock, Instrumental Rock, Indie Rock, Krautrock, PowerPop, Protopunk, Psychedelia, Pub Rock (Australia), Southern Rock, Surf, Symphonic Rock, Rap Rock, Aboriginal Rock, Afro Rock, Anatolian Rock,  Boogaloo, Indo Rock, Punk Rock, Jazz Fusion, Madchester, Merseybeat, Punta Rock, Raga Rock, Raï Rock, Rock Opera , Rockoson, Samba Rock, Space Rock, Stoner Rock, Flamenco Rock.

MENILIK SECARA INTRINSIK : ARTISTIC - MUSICAL APPROACH          

Bunyi merupakan variabel utama dalam musik. Nyanyian dan alat musik adalah evolusi dari bunyi. Mulanya hanya ada bunyi tanpa makna, lalu bunyi itu terkait dengan emosi, peralatan musik adalah sarana utamanya.  Teori berpuisi (sastra) berkembang menjadi teori musik. Karya musik adalah simbolisasi dari gagasan, pengalaman dan pandangan seorang seniman-nya yang ditransformasikan ke dalamungkapan estetik. Pengalaman-pengalaman itu diperoleh dalam berhubungan dengan realitas dalam berbagai tatanannya apakah itu realitas empiris, kerohanian atau transendental, atau apa saja. Tujuan dan fungsi musikpun beragam.

Ditinjau dari “gejala tertentu yang berlaku umum pada musik populer, juga ciri dan bentuk serta nuansa khas yang merupakan perulangan yang terdapat di setiap cabang dan ranting musik rock, secara garis besar berikut ini disajikan ulasan poin-poin pentingnya. Mari “mengintip ke dalam rock” dan melihat “apa yang ada di dalamnya” ; meninjau benang (pada kain) merah, mendeduksikannya dengan pendekatan yang (agak) historis- komparatif.

·        Tinjauan “Teoritis”Musik

Mari mulai “melucuti rock” dengan menilik elemen-elemen intrinsik musik ; nada, melodi, ritme, harmoni, dinamika dan timbre (warna suara). Untuk menyamakan persepsi dan demi mempermudah uraian, penggunaan istilah bunyi, suara, nada, notasi, note, tone dan sound dalam pembahasan/keseluruhan tulisan ini (agak dipaksa) mengarah pada satu pengertian yang sama, yakni bebunyian musikal dalam arti suara musik sebagaimana yang sudah dipahami bersama.

Tempramen bunyi dalam genre rock bercorak western temprament, blues minded, kental nuansa scene musik Barat. Rock juga sangat lekat dengan penggunaan sistemtangga nada blues, yang ciri utamanya adalah devil interval/tritonus ; yang menghasilkan blue note. Sedikit mengilas balik, sistem tersebut merupakan hasildari adaptasi tradisi musik Afrika yang pentatonik, terhadap sistem diatonik Eropa. Penyelewengan artistik dalam blues (baca : pembangkangan sekaligus“penemuan besar” orang Afro-Amerika) ini menghasilkan warna outside, corak blur ; batasan antara mayor-minor dikaburkan, pastinya dengan mekanisme tertentu. Efek pshyco-aural  yang ditimbulkan dari  sistem tangga nada ini bisa berupa nuansa (bunyi)yang “gelap”, bisa juga “terang”. Watak musik rock, dan berbagai sub-genrenya, terlihat berjodoh dengan sistem notasi ini.

Secara melodis, garis melodi atau pembawaan tema dicirikan oleh liukan nada (pola melismatis, legato ; khas blues), yang membawakannya terutama adalah vokal. Gaya vokal rock, secara garis besar terbagi menjadi : “bernyanyi normal”, sengau a la blues-rock nroll, moaning (lirih), screaming (memekik), growl (menggeram), grunt (menggerutu), classical (seriosa ; terdapat pada sub-genre symphonic, gothic). Gaya perpaduan : vokal 'Beauty and the Beast' (soprano &  growl)

Harmoni pada musik rock tidak ada yang khas. Seberapapun jauh bentuk dan pengembangannya, rock sebagai musik populer masih menggunakan aturan-aturan yang juga umum digunakan dalam (tradisi) musik lain.Gejala yang sangat kentara dan mudah didapati pada musik rock secara umum adalah penggunaan power chord pada gitar. Dari sisi harmoni, rock (masih) terbuka luas untuk pengayaan.

(Aspek ritmis ; dimensi waktu) Penggunaan nilai not, birama dan tempo dalam lagu-lagu rock sangat beragam, disesuaikan dengan amanat dan emosi lagu, meski umumnya bertempo sedang atau cepat ; (biasanya) karya “mengakomodir” ekpresi gerak, baik dalam konteks penyajian musik ataupun apresiasinya, demi aksi “goyang, mengibas-ngibas rambut, lompat, jingkrak, manggut-manggut, geleng-geleng, guling-guling” dan lain sebagainya. Berkenaan dengan aspek emosional dalam sebuah lagu dan juga berkaitan erat dengan sistem sensori pendengaran manusia, hal ini alamiah dan wajar karena nilai not dan (terutama) tempo memang berkaitan langsung dengan emosi atau tension dalam sebuah lagu, sebagaimana hal nya nyaris tak ada lagu sedih/murung yang dibuat/dibawakan dengan tempo super cepat, atau sebaliknya. Ketukan dan atau tempo berkaitan langsung dengan respon emosi musikal pada pendengaran (pemusik dan penonton). Hal ini berlaku umum dalam musik, tidak hanya dalam rock. Meski demikian “kaidah”ini dibantah juga dalam lagu-lagu metal super lambat, sebagai kritik terhadap kodrat alamiah.

Dinamik (keras-lembutnya bunyi) pada musik rock juga erat kaitannya dengan hal-hal tersebut diatas, dan memang integral. Dari segi nada (maksudnya pembunyiannya secara not per not) umumnya terdapat ketegasan bunyi,  lepas, lugas dan sarat hentakan (downbeat), tidak malu-malu, bahkan sampai ada pula not yang tak tahumalu/tidak sadar dalam berbunyi (kasus not-not yang kacau  akibat musisinya mabuk saat on stage). Ada juga not yang keras, marah-marah, meski ada juga yang lembut atau murung.Touch dan feel dari not yang dibunyikan, sekali lagi, sangat berkaitan dengan emosi lagu, dan itu berlaku umum dalam musik. Di situ pula terletak kejujuran ekpresi musikal. Bahkan terlepas dari disaksikan orang atau tidak, dalam konteks take rakaman misalnya. Inilahajib dan ajaibnya (bunyi) musik sebagai gejala fisikawi dan juga sebagai bahasa hati.  Dalam genre rock, terbukanya ruang ekspresif serta dinamik musik yang luas dan bisa “melintas batas” itu adalah akibat dari penggunaan sistem tangga nada blues yang sudah disinggung diatas, meski bukan hanya itu faktor penyebabnya.

Selanjutnya, masih seputar soal dinamika dan rasa dalam bunyi atau bunyi yang “bercitarasa”, secara dinamik (keseluruhan) lagu ; tensi emosional dalam lagu rock pada umumnya cenderung menaik (klimaks) tanpa peleraian (antiklimaks). Ini bukan rumusan, hanya salah satu ciri umum yang terdapat dalam lagu-lagu rock kebanyakan. Banyak juga yang naik-turun, turun-naik, naik di turunan, turun di naikan atau tak sedikit juga yang kental dengan nuansa teatrikal. Pendeknya, dari segi alur, rock menggunakan pola-pola yang umum digunakan dalam  musik lain. Tidak ada kaidah yang khusus dan baku. Sejumlah sifat bunyi seperti tegas, lantang, gagah-berani, melodius, nyeleneh/ngocol, kurang khidmat atau tidak kontemplatif  juga “ada di dalam rock”. Secara muatan (dinamika not ataupun lagu), “isi dalam rock” memang (cukup) kompleks dan dahsyat.

Dari segi intrumentasi, pemilihan dan pelibatan instrumen yang digunakan dalam musik rock (pada awalnya) mengacu pada country, dengan mengambil segi-segi yang utamanya saja. Formasi yang umumnya disebut band. Drum mengacu pada marching/big band/gaya musik boogie-woogie.  Gitar mengacu pada penggunaan alat petik yang marak digunakan di Timur, gitar bass memegang bass line selayaknya tuba, piano/keyboard/piranti elektronis lainnya jelas tak pernah tertinggal dalam budaya musik populer. Sebagaimana dalam blues, vokalis rock seringkali menemani dirinya dengan gitar. Karena dominasi gitar, maka wajar bila rock kemudian menjadi bercorak “gitar sentris” dan bermunculanlah lagu-lagu intrumental gitar. Pada genre rock, guitar is king and vocal is queen, begitulah pendekatan utama dalam me-mixing dan mastering lagu-lagu dalam aliran ini. Mixing/mastering engineer tentu paham betul akan hal ini, meski tetap harus selalu bersikap kontekstual, case  bycase.

Perlu diingat bahwa pita suara adalah juga “alat musik”. Vokal, dalam fungsinya sebagai lead element juga mengalami pengayaan gaya. Selain berbagai gaya vokal khas rock yang sudah disinggung jauh diatas tadi, terdapat pula gaya vokal range tinggi dan rendah. Gaya vokal melengking sempat menjadi tren. Saat itu para frontliner rock (vokalis) saling berlomba-lomba bernyanyi dalam ketinggian rentang suara. Kenyataan itu kemudian “lagi-lagi dibantah” dengan gaya vokal rendah pada sub-genre metal. Alat musik juga tak ketinggalan terkena dampaknya, misalnya pada sistem drop tuning atau pada gitar yang makin dibuat berfret banyak agar dapat menjangkau nada-nada tinggi. Semua itu berkaitan erat dengan konsep musik dan emosi musikal (dan ideologi) yang diusung.

Struktur dan bentuk lagu pada musik rock (pada umumnya) masih merujuk pada bentuk lagu-lagu di jenis musik populer lainnya. Tidak ada corak yang begitu kentara sebagai ciri khusus dari struktur lagu rock. Kerangka bangunan lagunya adalah kerangka yang juga mudah didapati pada genre lain, misalnya terlihat dalam pola yang sarat dengan perulangan, agar lagu bisa terus membekas dalam memori pendengar, hook dan riff didesign sedemikian rupa agar memorable dan ear catchy ; tentunya ini demi meraup pendengar yang seluas-luasnya. Seperti banyak jenis musik lainnya, rock juga berpola “menjualreffrain”. Pada sub-genre progressiverock atau jazz rock/fusion hal ini tidak begitu berlaku. Yang jelas, rock sebagai bagian dari musik populer berkaitan dengan konsumsi yang berulang-ulang yang merupakan bentuk dari pendisiplinan rasa.

·        Tata Suara : Teknologi Musik

Istilah teknologi (termasuk “teknik” sebagai kata dasarnya) dalam pengertiannya yang luas meliputi tata cara, sarana ; mekanisme, sistem. Sarana dan pra-sarana teknologi dalam musik pada hakikatnya ditujukan sebagai alat bantu pencapaian artistik, demi pengkomunikasian amanat. Penemuan dan rekayasa benda/teknologi musik adalah manifestasi dari tata cara merepresentasikan suatu gagasan, imajinasi dari apa-apa yang ingin diekspresikan lewat musik. Karena goal-nya bersifat artistik, maka aspek timbre (warna suara ; watak-karakteristik bunyi) pada alat musik sangatlah penting. Perbedaan yang paling mendasar antara  bunyi dalam arti yang sesungguhnya dengan bunyi dalam pengertian musik adalah pada persoalan rasa. 

Dalam sejarahnya, perkembangan multimedia dipicu oleh perang. Berawal dari penemuan piranti pengkonversi energi, dari akustik menjadi elektromagnetik (analog) dan elektromagnetik menjadi elektrostatik/kode binary (digital). Encoder – decoder, radio, sonar, berbagai macam detector dan berbagai jenis piranti elektronis lainnya yang berhubungan dengan gelombang suara (frekuensi) diciptakan untuk memenuhi kebutuhan perang.  Dan yang terpenting bagi dunia(audio) musik adalah penemuan microphone. Berbagai temuan dalam dunia teknologi audio-musik mengacu pada mekanisme microphone, pada pickup gitar misalnya. Atau pada synthesizer ; yang merupakan alat trans-mediumisasi bunyi, merekayasa bunyi agar bisa dimainkan di perangkat lain yang bukan sumber suara aslinya, dengan cara mencuplik bunyi khas suatu instrumen, kemudian mengolahnya secara algoritmis dan menyimpannya dalam bentuk data elektronis/binary/sampling untuk kemudian dimainkan dalam perangkat elektronis berupa papan kunci(keyboard), pad atau media elektronis lainnya. Yang berkembang berikutnya adalah teknologi perekaman dan komputerasi musik. Ada dua mekanisme utama dalam teknologi eletronik (musik); analog dan digital. Selanjutnya, teknologi musik sangat dipengaruhi oleh perkembangan dunia perfilman, termasuk juga industrinya. Manusia di-machinized, mesin di-humanized adalah ambiguitas dalam teknologi musik (terutama pada era digital).

Kembali ke dalam rock. Teknologi juga menyebabkan genre rock banyak mengalami perkembangan pesat dalam hal tata suara, terutama karena corak musiknya yang “gitar sentris” dan frontal. Pada fase berkembangnya industri musik di abad 20, teknologi elektronik memang agak berpihak pada rock sebagai tren musik global yang sedang hot. Maklum, teknologi memang tangan kanannya indutsri. Dimulai daripengembangan pickup gitar, piranti perekayasa efek bunyi, sampai kepada ekualiasasi frekuensi  dan amplifikasi suara serta speaker (speaker bekerja dengan mekanisme terbalik dengan mic). Prosesor efek crunch, overdrive, distorsi bisa kita sebut sebagai “sumbangan rock” terhadap perbendaharaan perkakas dunia musik. Bahkan tidak hanya dalam bunyinya saja tapi juga playing technique dari berbagai alatmusik juga ikut berkembang, terutama alat-alat mainstream/alat band . Jadi lumrah bila sebagian besar temuan tone dan teknik motorik permainan gitar juga berkembang dari aliran ini (dan kemudian menjadi rock discipline), misalnya teknik whammy bar, feedback, (pinch) harmonic, right hand pull off dan tak ketinggalan pula bending (warisanblues) dan masih banyak lagi. Suara-suara sintetik juga makin banyak ditemukan, berkembang  karena synthesizer. Bebunyian yang khas juga merupakan ciri dari suatu genre atau sub-genre musik. Pendeknya, bunyi menjadi identitas. Dalam rock, “suara gitar elektrik yang bunyi aslinya telah rusak/dirusak” itulah yang menjadi benang merah genre tersebut. Rock, adalah sangat elektronis.

Berkaitan dengan unsur bunyi dalam alat musik, penggandrungan terhadap suatu alat musik tertentu sangat mempengaruhi karakter individu seseorang ; mencerminkan pribadi, sebagaimana karya juga mencerminkan individu subjek penggagasnya, terlepas dari apakah itu karya pribadi atau pesanan. Pada sub-genre rock yang “bertabiat keras/berat”, (heavy) metal, perkembangan sound ini sangat kentara, misalnya pada rasa bunyi snare drum yang dibuat plentang agar bisa mewakili “gebrakan” atau desingan peluru, atau pada suara bass drum yang di-tune jedag-jedig untuk mengimajinasikan bisingan helikopter tempur atau senapan mesin, tidak ketinggalan pula gitar yang bertindak seolah-olah ia adalah meriam atau senapan. Aural percpetion pada sub-genre ini bercorak militeristik, beradaptasi dengan Perang Dunia II ; menentangnya. Kebanyakan musisi (rock) pada era itu juga ikut wajib militer. Isu semacam ini juga kemudian meruhi punk ; selain isu anti kemapanan. Punk lebih kepada ideologi daripada sebuah sub-genre musik. Bebunyian dari suatu genre musik juga berpengaruh besarterhadap pola pikir, cara pandang, cita-cita dan tingkah laku manusia, baik ditingkatan pelaku musik maupun apresiatornya. Sudah banyak uraian psikologis-medis yang membahas soal-soal ini.

Teknik bermain (dan juga sound) sebagai “alat bantu” pencapaian artistik, tidak pernah lepas kaitannya dengan emosi musikal yang bahan bakunya adalah gagasan, jadi “tidak pernah tidak kontekstual”.  Karena sifatnya yang motorik, celakanya musik seringkali didekati secara too technical. Nilai musik ditentukan dari kecanggihan teknik, tata cara bermain dan juga sarana yang digunakan. Sempat terjadi di era-era kejayaan rock (bahkan hingga dewasa ini, dengan pola baru) dimana musik dinilai, diapresiasi dan dihargai dengan takaran teknik, yakni kepiawaian bermain. Musikalitas musisi diukur secara sempit, yakni dari seberapa besar kemampuannya menawan hati pendengar atau menakjubkan mata penonton selayaknya sirkus-akrobatik atau pemecahan rekor. Di Indonesia, istilah skill musik juga masih mengarah kepada pengertian yang serupa, yaitu kepiawaian teknik. Speed (berhubungan dengan dimensi waktu; dalam musik) atau “kompleksitas permainan” seringkali menjadi tujuan dan dicita-citakan dalam rock, sehingga orientasi bunyi yang meaningfull  kerap terabaikan. Orientasi artistik berubah menjadi orientasi teknikal. Dalam rock, orientasi semacam ini mengarah kepada virtuositas yang (jelas) aspek utamanya adalah teknik.  Akibat tren battle, maka musik “dikompetisikan”, musik menjadi sesuatu yang rekoris; a playing thing/game. Musik menjadi “sekedar permainan”. Dalam rock, paradigma ini sangat ketara dan kental, bahkan menjadi khas. Saya (penulis) menyebut ini sebagai salah satu dari sekian banyak jebakan seni dan atau ranjau budaya. Sebagai fenomena fisik dan psikis, tentu ini dapat dipelajari.

Dari genre jazz (rock), fusion atau sub-genre progressive rock (yang concept minded), dampak yang paling  kentara dari sindrom tersebut di atas adalah terciptanya karya-karya berkategori music for musician atau “musik akademis”; musik yang “sebenarnya diperuntukkan” bagi kalangan kecil tertentu (yakni pelaku/akademisi musik) dari sekian besarnya masyarakat. Yang (paling) bisa“menikmati” musik tersebut adalah para pemusik dari genre itu sendiri, ataupun apresiator yang “sok paham” atau ikut-ikutan. Cukup sukar mengapresiasi lagu jazz, klasik atau progressive, jika minim referensi. Lagi lagi musik bersifat ekslusif, elitis layaknya musik masa lalu. Dari berbagai aspek, yang tidak hanya teknis, (seni) musik yang sedemikian misi-nya adalah “pencapaian nilai artistik yang setinggi-tingginya” ; bahkan tidak jarang pula yang jadi absurd. Akibatnya, nila-nilai yang lain tergusur. Betapa “berbahaya”-nya jika hal itu menjadi landasan pendidikan musik. Maka music as music atau art for art secara murni (harap ingat ; secara murni) agaknya“mengada-ada”. Kalau boleh penulis memberi saran, idealnya  adalah balance secara : teknikal - artistik (musikal) – kultural (ketiganya dalam pengertian yang luas). Walaupun memang, fase teknikal dulu, baru (bisa masuk) fase musikal, lanjut ke fase konseptual, lalu fase spiritual, begitulah kata para instruktur musik kebanyakan, termasuk penulis. Menurut penulis(dan pendapat ini bisa saja salah), imitasi, asimilasi dan inovasi merupakan proses yang amat penting dilalui dalam belajar musik, sehingga proses belajar benar-benar dapat dipandang sebagai usaha yang berorientasi pada hasil ; usaha dan hasil yang berbobot. Mana ada kematangan di umur muda .. ”, begitu kata para orangtua kepada yang lebih muda , termasuk kepada penulis yang, muda saja belum, apalagi matang.

·        Penyajian Musik : Rock, Live Performance


Bahwa musik dapat menghadirkan perasaan-perasaan tertentu, kita semua juga tahu dan punya pengalaman akan hal itu. Seringkali intensitas perasaan yang ditimbulkan oleh musik cukup kuat. Ada perasaan-perasaan atau suasana hati yang khas yang menyelimuti kegiatan mendengarkan/bermain musik tertentu. Saat kita bermain musik, bersama itu pulalah agenda berbagi rasa terselenggara. Dengan cara tertentu perasaan-perasaan tersebut dapat terbagi kepada orang lain. Maka dunia kesenian (musik) tidak bisa lepas dari dunia publiknya atau “pasar”. Beda lagi persoalannya jika bermusik untuk dirisendiri.

Rock pada awalnya memang bernuansa entertaining. Dari segi penyajian, kebanyakan gubahan musik rock memang tidak didesain untuk konsumsi yang menuntut keseriusan mendengar, sehingga orientasi  ruang pertunjukannya adalah out door (“rumus” musik populer) . Berbeda dengan “musik serius”, ruangan tertutup senantiasa menjaga ritualitas dan sakralitasnya. Uniknya lagi, musik klasik (sebagai musik yang masuk dalam kategori “serius”) sudah bisa diapresiasi semenjak dalam bentuk teks partitur. Pada pementasan musik rock yang lagu-lagunya sarat muatan kritik sosial, respon audiens terhadap musik yang disajikan diharapkan dapat berujung pada pemahaman (masyarakat/penonton) akan kondisi riil dunia sosial. Nilai spiritual dalam lagu-lagu yang disajikan adalah nilai yang sudah lama hidup dalam diri apresiator. Ketika ia berada dalam sebuah konser, ketika itulah nilai-nilai tersebut mendapat pengukuhan. Faktor ruang dan waktu menjadi sangat penting dalam mengapresiasi musik. Daya apresiasi yang lemah sering menyebabkan kebablasan apresiasi ; tata cara menonton pertunjukan musik secara semaunya, suka-suka sendiri. Hal ini setidaknya terlihat jelas dalam tingkah laku dan ekspresi penonton. Livemusic rock seringkali diwarnai chaos atau tawuran. Di sinilah letak pentingnya pendidikan apresiasi musik. Penyajian musik secara live tentu sangat berbeda dengan penyajiannya dalam bentuk rekaman.

Musik adalah performing art. Peristiwa mendengar bunyi secara langsung tidak dapat diganti dengan cara apapun. Pengetahuan tidak dapat “menandingi”pengalaman (empiris), mengetahui suatu peristiwa tentu amat jauh berbeda dengan mengalami peristiwa tersebut secara langsung. Dalam konteks apresiasi, bahkan pada saat kita memutar dokumen bunyi (baca : lagu) dalam berbagai format kalengannya pada media pemutar, pada saat itu sebenarnya kita sedang menyimak musisi yang sedang bermain secara live saat musisi tersebut melakukan take rekaman (baik dengan metode perekaman overdub ataupun simultan). Cobalah sesekali, jangan hanya mendengarkan lagunya saja, tapi juga coba membayangkan segala sesuatu sewaktu musisinya sedang melakukan perekaman lagu tersebut di studio rekaman. Bisa juga dengan mendengar satu nada saja sebagai sampel, lalu bayangkan dan cermati bagaimana cara musisi tersebut membunyikannya. Ini berlaku bagi bunyi instrumen atau bunyi vokal, keduanya sama saja. Pemusik tentu akrab dengan cara yang barusan disebut, dialami pada saat ngulik. Musik itu empirik. Jadi bukan hanya bunyinya  saja yang ditangkap (raga), tetapi psikis bunyinya  juga harus diserap (jiwa). Musik, bukan hanya menyangkut telinga, sebagaimana makanan bukan hanya menyangkut lidah.

REFLEKSI ; MULTPLE APPROACH

Rock adalah “vulgarisme” dan “kecanggihan” suara

Pada prinsipnya, pengertian estetika sebagai filsafat telah menempatkan kita pada satu titik dikotomi antara realita dan abstraksi, serta antara keindahan dan makna. Kini estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam konvensi, melainkan telah bergeser kearah sebuah wacana dan fenomena. Praktik estetika di masa kini berbeda dengan praktik estetika pada masa lalu yang bersifat progresif, rasional dan serius. Kini praktik estetika beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektis, “irasional”dan ironis. Dari tiga haluan besar dalam kesenian musik, yakni klasik, populer dan tradisi, dapat dicermati bahwa : musik klasik berorientasi pada rasionalitas, jadi ia merupakan bagian resmi dari ilmu pengetahuan yang terejawantahkan dalam seni (sehingga menjadi root dalam musik), sementara musik populer bertumpu pada sosialita, industri dan media, maka fungsinyasebagai hiburan adalah jebakan yang paling besar, sedangkan musik tradisi lebih fungsional kepada “kehidupan harian” sehingga menjadi satu bagian primer dari kearifan lokal. Seni berkenaan dengan kesadaran yang menjiwai semua hal yang bersifat lahiriah dan bendawi. Seni musik tidak hanya berkembang disebabkan bahan-bahan yang digunakan, teknik dan gaya ; yang semuanya itu bersifat lahir.

Tatanan musik populer sebagian besar dibentuk oleh rock dan berkembangdi tangan industri dan media. Musik bule tersebut mewabah di berbagai belahan bumi. Isu hangatnya selalu disesuaikan/tertaut dengan dinamika yang terjadi di belahan Amerika sebagai tuan rumah dari aliran ini. Secara psikologis, perbedaan sensori antar manusia dari budaya yang berbeda tidaklah banyak, tidak signifikan dan tidak punya pengaruh bagi perilaku manusia tersebut. Namun pendekatan inderawi semata tidak dapatmenjelaskan mengapa transmisi senibudaya yang (seharusnya) murni merupakan persepsi estetika ternyata berjalan mengikuti arus gelombang sejarah, politik dan ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka persepsi, manusia mempersepsi sesuatu sangat tergantung dari kecenderungan budaya mereka masing-masing ; dalam melihat sesuatu sebagai indah atau tidak indah, hal ini sangat berlaku bagi musik. Bagaimana suatu bangsa memandang dirinya sendiri dibandingkan dengan bangsa lain adalah sebuah fungsi budaya, yang dapat mempengaruhi persepsi estetika. Ini menyebabkan persepsi estetika bisa merupakan gabungan rumit dari berbagai referensi lain seperti kepribadian, status sosial, situasi dan kondisi. Seni harus dilihat dari sudut pandang yang kompleks. Mesti ada semangat untuk memandang musiksecara (lebih) luas dan komprehensif.


Pengaruh kebudayaan populer Barat  sangatlah kuat di dunia. Pastinya, itu terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan multimedia. Berkenaan dengan penyuaraan bunyi sebagai bentuk penyuaraan gagasan, sejumlah sifat bunyi seperti tegas, lantang, lugas, gagah-berani, nyeleneh/ngocol yang “ada di dalam rock” menjadi ciri umum dari “penyuaraan” dalam musik rock. Rock,secara umum tidak mengekspresikan bunyi dan makna yang terkandung didalamnya secara “halus” atau implisit. Sesuatu yang menyangkut bunyi dan gagasan menjadi bercorak sangat vulgar di dalam rock. Vulgarisme dalam musik inilah yang membuat rock tidak sulit membaur dengan dunia pergerakan, corak pemikiran, paham, ideologi, aliran kepercayaan, bahkan juga (bisa larut dalam) kepentingan industri. Karena vulgaritasnya, lirik menjadi peluang besar untuk menyampaikan amanat lagu yang bermuatan isu sosial, politik dan isu lain sejenisnya. Pertunjukannya sering diwarnai orasi, propaganda, kampanye, “ritual” dan lain sebagainya. Pada titik tertentu, keberadaan lirik menggeser unsur bunyi sebagai karakter utama musik. Oleh karena itu tema-tema musik rock menjadi tidak terbatas pada tema universal semisal tema cinta, tema ketuhanan, tema alam dan lain sebagainya. Di negeri-negeri yang tingkat pergolakan politik dan kadar gejolak sosialnya cukup tinggi, rock menjadi sangat subur. Karena mengandung usungan lain, berbagai sub-genre turunan rock sejatinya bukan hanya merupakan musik tapi juga ideologi. “Dunia jalanan” juga ikut menjadi sarana tumbuh dan berkembangnya genre yang kental dengan maskulinitas ini. Tak heran jika kemudian rock diasosiasikan dengan dunia pergerakan sosial ; wacana “anti”. Dengan kata lain,terdapat suatu landasan yang khas sekaligus sangat kondusif untuk sebuah gerakan sub-kultur yang biasanya bersifat kontra, keras dan anti. Secara sosiologis, kesenian memang  tidak sefungsional politik atau ekonomi, terlebih lagi pada tataran praksisnya. Akan tetapi  rock sudah terlanjur difungsikan sebagai sarana bagi wacana sosial-politik dan gerakan anti, meski kerap menuai kritik : ideal yang diekspresikan lewat musik  seringkali menghasilkan sampah estetik.

Masih berkaitan dengan penyuaraan bunyi sebagai bentuk penyuaraan gagasan, dari instrumen gitar yang berkedudukan sebagai king pada genre rock, secara auditif dapat ditemui bentuk  bebunyian khas yang merupakan kesamaan ciridan  perulangan bentuk  pada setiap sub-genre musik rock, yakni suara gitar yang terdistorsi. Bunyi yang terkena berbagai pewarnaan dan proses amplifikasi ini seolah-olah wajib ada jika ingin disebut rock. Spesifikasi alat yang digunakan pada masing-masing sub-genrepun juga menghasilkan bunyi khusus yang menjadi identitas aliran. Bunyi khas tersebut cukup mudah didapati, dicermati.  Tekstur bunyi itulah yang  juga kemudian mendasari penamaan sebagian aliran ; heavy metal, hard rock, soft rock dsb. Eksplorasi bunyi gitar (dan juga bunyi instrumen lain, termasuk vokal) sangat berkembang di tangan genre rock, sejalan dengan perkembangan teknologi. Tak jarang pula musisi rock yangjuga ahli dalam bidang elektronik. Perusahaan-perusahaan pengembang piranti elektronik musik berebut kesempatan untuk “memanjakan” musisi (rock) ; membuatkan produk custom baginya. Dengan itu diharapkan sosok-sosok musisi juga bisa tampil sebagai duta perusahaan/produk ; pengiklan.

Banyak karya dalam musik rock yang dapat ditafsirkan sebagai reaksi terhadap masalah sosial. Industri musik justru mengkomersialisasikan isu-isu tersebut. Lambat laun musikpun menjadi sistem  nilai yang dikontrol penuh oleh kekuatan besar, sehingga aliran musik dapat beralih menjadi sebuah mode,  bukan lagi merupakan suatu media ekspresi yang utuh dan murni, bukan lagi simbolisasi dari gagasan dan pengalaman serta pandangan seniman yang ditransformasikan ke dalam ungkapan estetik. Sesungguhnya industri musik tak peduli dengan esensi apa yang diteriakkan. Industri (rekaman) musik adalah salah satu kepastian yang telah memasung kreativitas bermusik ; melakuan kontrol penuh atas pelakunya. Kekuatan merayu musik dipaksa masuk menjadi kekuatan bantu bagi hegemoni, musik berubah menjadi hiburan yang mengalienasi ; mengalihkan manusia dari permasalahan hidup yang sebenarnya.  Ini menjadi sistemnilai yang pada akhirnya membentuk sistem sosial dan sistem budaya masyarakat,  yang menjadi identitas dari masyarakat tersebut.  Industri dan media massa (harus) bertanggungjawab terhadap menurunnya daya apresiasi masyarakat pada kesenian musik. Degradasi ini tampak jelas pada masyarakat yang gandrung terhadap musik rock(dan sudah tentu juga jenis musik lainnya), makanya kemudian banyak yang hanya menghayati modenya saja. Variabel sekunderdan tersier kerapkali menjebak. Musik memang membutuhkan pendukung, tetapi bukan seperti  massa suporter dalam dunia olahraga. Diperlukan referensi dan filtering system untuk memilah segi dan mengambil sari pati positif di dalam rock.

Musik (sebagai bahasa jiwa) mampu menginfiltrasi anasirnya menuju sisi terdalam manusia, mengintervensi watak dan tingkah laku. Kecenderungan terhadap satu aliran tertentu sangat  berdampak pada individualitas seseorang. Efekyang ditimbulkan musik sangatlah besar, dalam musik industrial fenomenanya terlihat sangat jelas dalam mode. Demi usungan(ideologi), hal-hal diluar musik menjadi (berpotensi) lebih banyak dipentingkan. Secara eksistensial biasanya memang dimaksudkan sebagai penanda yang membedakan satu aliran dari aliran lain ; atribut/simbol, jargon, tagline.  Aliran musik rockpun cepat sekali menjadi lifestyle ; tren gondrong, tato, anting, jeans sobek-sobek dan lain sebagainya adalah sebagian jejak pengaruh dan peninggalan besar musik rock, kini yang marak adalah tren alay. Sosok individu musisi kerap jadi panutan, ditiru dari mulai hal-hal yang baiknya sampai denganyang terburuknya (fanatisme berlebihan). Alat bantu perluasan pangsa pasar semacam merchandise, poster, stiker dan lain sebagainya terus diciptakan, (seni) musik jadi tambah berkepentingan laba. Musik lalu jadi fashion, dan mulailah endorsement. Karena mesranya hubungan industri (musik) dengan media, seniman musikpun jadi model (iklan). Musisi dikontrak untuk bertindak sebagai duta produk. Timbul making over dalam segala hal : dari wajah sampai gaya bicara. Lantas banyak yang gagal membedakan antara make up artistik dan make up gaya/fashion. Syukurnya masih sukar sekali  mendapatkan pemusik rock (ataupun juga penikmatnya) yang lekong atau bencong.  Seringkali rock lovers dari kaum hawalah yang malahan menjadi banci ; tomboy. Maskulinitas, urakan, selebor, seks bebas, narkoba dan alkohol juga mewarnai pencitraan musik rock.  Karena jebakan bentuk, seringkali pelaku kesenian(musik) gagal menjalankan salah satu fungsi sosialnya ; sebagai aparatur penyeimbangperikehidupan manusia.

Rock dan Indonesia

Sederet nama tokoh/grup band rock sempat muncul dan bertahan lama dalam scene musik populer Indonesia. Pintu perkembangan musik rock Indonesia adalah ajang kompetisi musik, selain industri dan media sebagai gerbang utama. Pergolakan musik global membuat apa-apa yang ada dan berkembang di belahan luar sana hampir selalu ada tiruannya di Indonesia. Rock,sebagaimana juga yang lainnya, pada dasarnya hanyalah sebuah genre. Rock, bagi orang Indonesia, secara 'genetis musik' memang tidak diturunkan. Meski berasal dari Barat, setiap insan musik dimanapun memiliki banyak peluang kreatif di dalamnya. Melalui peluang terbuka inilah seyogyanya para penggandrung rock di Indonesia mampu memanfaatkan genre tersebut dengan cermat dan teliti, membawanya ke dalam konteks kita sendiri ; menciptakan paradigma tersendiri.

Kekayaan khasanah budaya lokal, termasuk musiknya, dapat menjadi sumber ilham yang tak ada habisnya bagi para pelaku musik, tak terkecuali  yang menggandrungi rock. Tidak ada pakem yang mengungkung seluruhnya, sehingga dengan pakem, kita tetap punya kebebasan. Tercatat banyak  tokoh/grup Indonesia yang pernah “membuktikannya” seperti Harry Roesli, Guruh Soekarnoputra, Discus, Kua Etnika,SansaE, Taufik Adam Minstrel dan lain sebagainya. Mereka dapat dijadikan acuan untuk menggarap rock Indonesia secara kreatif. Belakangan, kesadaran seperti itu tidak begitu tampak pada penggiat musik rock generasi terkini.  (Kuat dugaan bahwa) itu adalah akibat dari hantaman arus global yang menyebabkan terombang-ambingnya orientasi berkesenian di tataran pelaku musik (rock), layaknya korban selamat dari kapal karam yang terpaksa pasrah ber-sekoci di tengah lautan dengan ke-serba kekurangan ; biarlah terombang-ambing begini asalkan bisa tetap bernafas dengan selamat dan tetap bisa hidup  serta makan. Semuanya bergiat cari aman. Lantas, di mana “arah-tujuan”? di mana “cita-cita”? disorientasi kah?

Bahwa estetika, dulu maupun sekarang merupakan suatu pengertian yang dominan dalam paham dan penghayatan kebudayaan di Indonesia. Persoalannya, apakah seni harus berpedoman pada ide keindahan universal, atau dia harus memperhatikan kelenturan ide keindahan dan tingkat penghayatan keindahan dari lingkungan terdekatnya? Jika jawabannya adalah iya, kedua-duanya, maka musik popular di Indonesia seyogyanya harus senantiasa meng-Indonesia, baik secara bunyi maupun “wacana” ; intrinsik dan ekstrinsik. Sistem pentatonis kita selalu (bisa) menjadi peluang besar untuk mengembangkan rock a la Indonesia, meski bukan hanya satu itu saja peluangnya. Kehidupan(musik) memang selalu berada di antara dua sisi besar : ikut pakem, sekaligus juga ikut kebebasan. Persoalannya adalah seberapa tegas batasan-batasan antara pakem dan kebebasan berekspresi itu ada pada diri (dan dipahami) pelakunya, bahkan juga apresiatornya. Di ranah lakuan (seni) musik, memang harus ada ada pemilahan sisi kepentingan ; mengerjakan sisi ini murni untuk ekspresi seni, mengerjakan sisi itu untuk sosial/ibadah, mengerjakan sisi yang lain lagi untuk uang”. Selayaknya manusia biasa lainnya, seniman juga punya banyak peran dalam panggung kehidupan. Mengutip simpulan Bang Serrano Sianturi, “Culturalmanifestation always has economic aspect, but commercialization has never been the motivation”.

Yang jelas, pelaku musik itu berkarya bukan untuk kepuasan batinnya (saja), pendengarpun seyogyanya begitu ; mendengar musik bukan hanya untuk kepuasan batinnya ; mengambil “enak/nikmat”-nya (saja). Alam rasa tidak pernah tidak terkait samasekali dengan alam pikir, sebagaimana kesenian (musik)  tidak pernah tidak terkait sama sekali dengan realita kehidupan (sosial). Untuk itu wawasan yang luas serta pengalaman yang cukup perlu terus menerus ditingkatkan demi membangun"kesadaran memilah dan memilih", kesadaran seperti itulah yang kemudian dijadikan acuan dasar dari  sikap dan tindakan kita. Membangun kesadaran tersebut menjadi dua daya yang proporsional dan berimbang, seimbang antara kesenimanan dan kebudayawanan. Dua energi utama yang (mohon maaf) seringkali timpang dalam diri pelaku seni (musik), apalagi apresiator. Bukannya apa-apa, seni bukan lagi persoalan estetika. Lebih dari itu, menyangkut kemanusiaan (Vukar Lodak). Lebih jauh lagi, menjadi loyalis musik bukan berarti menjadi “hamba bunyi” (penulis).

Indonesia  boleh saja bangga dengan Tielman Brothers yang dulu sempat jaya, tentu itu  sah-sah saja. Di Eropa, orang menyebut musik mereka dengan istilah Indorock, meski sama sekali tidak ada ke-Indonesiaan di dalam musiknya, baik secara bunyi maupun wacana. Ke-Indonesiannya hanya terletak pada kenyataan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang resmi, yang membawakan rock n roll.  Lantas, apakah orang Inggris yang sangat fasih berbicara Batak dapat disebut sebagai orang Batak-Sumatera? Apakah dengan pergi  (atau menetap)-nya kita ke luar negeri otomatis dapat disebut sebagai mewakili Indonesia? Tentu kita sadar betul jawabannya. Kemanapun kita pergi dan dimanapun kita berada identitas ke-Indonesiaan tetap melekat pada diri kita, dan kita bertanggung jawab penuh atas itu. Di situlah letak urgensi style rock khas kita. Tidak perlu bingung, apalagi kecut dan ciut menghadapi arus global peradaban modern yang datang dari Barat. Dalam sejarahnya yang panjang, Indonesia telah teruji dapat tampil sebagai peradaban dan kebudayaan dengan jati diri yang kuat dan kental, padahal dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu, ia selalu berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang dominan pada jamannya, selalu mampu menundukkan dan melumat unsur-unsur dari luar dirinya dan mentransformasikannya menjadi sesuatu yang baru miliknya sendiri. Walau demikian, ia juga tidak bisa mengelak dari keharusan berinteraksi dengan kebudayaan dan peradaban di luarnya sebagaimana juga peradaban lain seperti Eropa, India dan Cina dan lain sebagainya tidak dapat mengelak dari kenyataan yang sama. Dalam berbagai aspek dan lini dari perikehidupan kita yang terus menerus terombang ambing arus global dan gerusan jaman, usaha menumbuh-kembangkan kesadaran kita untuk senantiasa menaruh hormat kepada tradisi-budaya bangsa sendiri  perlu terus ditingkatkan. Spirit lokal merupakan elemen fundamental menuju pencapaian cita-cita bersama ; musik popular asli Indonesia.

Berawal dari folk, lalu berdialektika, lantas berkembang menjadi popular. Ya, begitulah. Semuanya berawal dari khasanah tradisi lokal. Meski lain cerita dengan apa yang utama dibahas di sini (musik populer Amerika ; rock), poin pentingnya : haruslah ada musik populer-industrial kita yang mendunia, mewakili populary music khas kita Indonesia. Bukan dalam rangka meneruskan semangat imperialisme dan hegemoni Majapahit, bukan pula untuk menjadi kultur dominan sebagaimana Sriwijaya, tetapi lebih kepada suatu usaha mengecap kemerdekaan secara budaya, memperjuangkan kemandirian musik kita. Ditambah lagi dengan maraknya perampasan (produk) budaya di sana-sini oleh pihak tertentu. Perampokannya terjadi siang-siang, disaat kita terjaga sekaligus juga mabuk berat karena Westernisasi  dosis tinggi. Jika bukan rock, maka biarlah “musik (dangdut) yang sudah (kadung) popular” yang mewakili, toh sudah ada juga unsur rock-nya, toh kental nuansa Timur-Indonesia-nya ; asli loh. Hendaknya diusung agar go international secara industrial. Setidaknya potensi besarnya bisa diberdayakan sebagai competitory object dalam kancah  global budaya populer. Tentu bisa-bisa saja, asalkan jelas design-nya. Ya, formulasi artistik dan strategi budaya, itulah keniscayaannya dalam peperangan budaya ; membela diri sendiri.

Rock a la Indonesia : Formulanya, Praktik lapangannya?

Ya, sekali lagi re-formulasi artistik dan strategi budaya, lagi-lagi itulah keniscayaannya. Sudut, jarak dan cara pandang yang komprehensif (peta) serta sikap kritis terarah (senjata) dan mentalitas (mesiu) yang matang dapat dijadikan fondasi (inventory) dalam formulasi dan terapannya.  Tetap terjaga  dan waspada, selalu hati-hati dalam melangkah, karena kita memang senantiasa berada di antara jebakan seni dan ranjau budaya. Mari berperan(g). Let’s rockin with Indonesian rock style.

(disampaikan pada offline series discussion, Ciputat Music Space (CMS), Jumat 05  April 2013)


Tidak ada komentar: