Tampilkan postingan dengan label ARTICLES. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTICLES. Tampilkan semua postingan

TELAAH KRITIS PERTUNJUKAN OLAHRAGA DAN SENI

Pertunjukan olahraga? Olahraga kok pertunjukan?

     Ya, tidak ada masalah pada kalimat di atas jika kita sejenak pelan-pelan memikirkan dan merenungkannya lebih dalam, luas dan menyeluruh. Mari kita coba ulas secara ringkas-padat-cepat: sekali duduk.

     Pertunjukan, sederhananya mensyaratkan empat hal: penyaji, penyimak, tatap muka secara langsung (realtime/live) dan venue  (arena). Pada sisi penyaji tentu saja melekat atau terdapat ‘materi yang disajikan’, sementara penyimak mendapatkan ‘materi sajian yang disimak’. Peristiwa penyajian dan penyimakan dan segala sarana-prasarana serta mekanisme yang melingkupi dan menunjangnya sering disebut sebagai event; acara; program. Disebut ‘sajian dokumentasi pertunjukan’ jika bukan disajikan secara live: dalam bentuk pemutaran rekaman (gambar, video, audio). Selama empat unsur tersebut di atas ada dan terpenuhi maka suatu ‘peristiwa’ sebagaimana digambarkan di atas dapat kita sebut sebagai ‘pertunjukan’, tak peduli di bidang apa atau terkait apa materi sajiannya: kesenian, olahraga, pendidikan, ajaran, bimbingan, panduan, orasi, data, kritik, informasi, demonstrasi dll. Tampil di muka umum, menyampaikan sesuatu, ada tujuan yang hendak dicapai, disimak orang, sesederhana itulah pengertian pertunjukan. 

     Pertunjukan tetaplah pertunjukan, dengan atau tanpa unsur kompetisi (pertandingan, perlombaan) dalam performanya. Bahkan pada seremonial keagamaan pun sisi “pertunjukan” ada. Oleh karena itu para pelaku seni pertunjukan (musisi, penari, teaterawan, komedian, storyteller), artis, entertainer, selebriti, aktor, penyair, atlet, pendakwah, guru, dosen, pelatih, demonstran, pemandu acara, narasumber, pengarah diskusi, penyaji berita, pengamen, badut, politisi, komandan/petugas upacara dan kontestan lomba sesungguhnya adalah performer yang menggandrungi dan menjalani bidang pertunjukannya masing-masing. ‘Pertunjukan’ tidaklah identik dengan seni dan bukan sesuatu eksklusif miliknya. Dalam ranah seni sendiri tidak semua cabang kesenian berhubungan dengan pertunjukan atau penampilan. Ada banyak sekali kesenian non pertunjukan: seni murni, seni fungsional. Sementara dalam ranah olahraga, hampir dapat dipastikan bahwa 99% geliat kehidupannya bermuara pada show: penampilan lapangan. Meski demikian ada juga olahraga murni dan fungsional sebagaimana yang ada pada seni. 

    Olahraga mensyaratkan adanya gerakan ketangkasan fisik. Olahraga adalah laku gerak kebertubuhan yang intens dan dominan. Jika unsur tersebut minim atau bahkan tidak ada samasekali maka sesungguhnya ia belum dapat disebut sebuah kegiatan olahraga melainkan hanya games atau suatu permainan biasa: catur, bridge, billiard, balap motor/mobil dsb, boleh dianggap setara karambol, congklak, ular tangga, remi, gaplek dsb.  Games dan sport seringkali dianggap sama. Memang ada kendala dalam mengklasifikasikan apakah suatu permainan--apalagi yang melibatkan keaktifan fisik--bisa disebut olahraga atau hanya berkedudukan sebagai ‘permainan’ saja mengingat seringkali keduanya sudah bercampurbaur, melebur jadi satu. Banyak permainan (games) yang melibatkan unsur fisik secara dominan dan bercorak sangat olahragawi, misalnya pada banyak ragam permainan tradisonal anak nusantara: dampu, getok lele, galasin, petak umpet, gobak sodor, taplak bulan, lompat karet, egrang dll. Aneka permainan tradisional khas nusantara tersebut biasanya bukan sekadar permainan yang menyenangkan dan membuat riang tapi juga mendorong ketangkasan fisik dan melatih ketangguhan mental, kebugaran jasmani-rohani, ada unsur pendidikan luhur yang terangkut di dalamnya dan tentu saja tidak hanya terkait perkara kalah-menang. Di sudut lain juga ada kesulitan membedakan mana yang olahraga dan mana yang seni, seperti antara tarian dan senam atau pada beladiri yang mau dikategorikan sebagai olahraga atau malah seni. 

     Olahraga  dan seni pada dasarnya adalah siasat permainan gerak, bentuk, rupa, olah perasaan dan pikiran. Baik olahraga ataupun seni keduanya sama-sama permainan, maka ada istilah pemain basket, pemain gitar dsb.  Ditinjau dari sisi permainan, ada satu hal yang cukup tegas membedakan antara olahraga dan seni, yakni aspek kompetisi: unsur perlombaan, nuansa pertandingan. Dalam olahraga selalu ada unsur kompetisi: melekat inheren pada dirinya sendiri. Artinya, olahraga pada umumnya, kecuali olahraga murni dan fungsional, adalah permainan yang diperlombakan atau perlombaan permainan. Segala hal yang melingkupi permainan (baca: pertandingan) dalam suatu cabang olahraga memiliki dasar rasionaliasi yang tegas, sangat terukur, punya aturan yang biasanya memuat hal-hal yang sangat kuantitatif--jarang kualitatif. Ada serangkaian kesepakatan baku dalam permainan yang harus dijalankan dan diindahkan setiap pemain dan tim penilai (baca: performer panggung permainan olahraga) yang merupakan syarat mutlak terselenggaranya pertunjukan olahraga tersebut. Karena kuatnya pendekatan kuantitatif-kompetitif yang digunakan dalam permainan olahraga, maka skor atau capaian angka-angka menjadi tujuan utama, berujung pada tiga buah status kemungkinan pencapaian akhir: kalah, menang atau seri. Olahraga adalah bidang yang sangat kuantitatif-objektif, cenderung bernuansa hitam-putih; tegas terhadap perkara salah-benar dan menang-kalah. Di sisi lain ada pula olahraga yang murni sebagai olahraga, bukan sebagai permainan apalagi pertunjukan. Menurut penulis, olahraga murni nan hakiki hanya ada tiga: jalan kaki, lari dan senam (gymnastic; sit up; pull up; squat jump; push up; senam kebugaran jasmani), yang tentu saja bukan dalam konteks dikompetisikan. Ketiganya murni bermotivasi 'cari sehat', benar-benar bertujuan memperoleh kebugaran jasmani dan kesehatan jiwa-raga, sangat ngeklik dan matching dengan motto mensana in corpore sano. Sampai di sini juga dapat disimpulkan bahwa dalam olahraga dan seni ada dua jenis pertunjukan:  pertunjukan murni dan pertunjukan kompetisi “adu kehebatan”.

     Beralih ke seni. Berbeda dengan olahraga, permainan seni bersifat lebih terbuka, tidak memiliki keterukuran ketat, lebih condong bersifat kualitatif-reflektif, tidak rekoris atau berorientasi skor dan bukan bertujuan menang-kalah-seri. Sesungguhnya aspek kompetisi sangatlah sulit untuk berlaku dalam dunia kesenian karena sejatinya kesenian memang tidak bisa diperlombakan. Adalah perkara rumit, berat dan pelik, atau boleh disebut masih jauh dari mungkin untuk kita menemukan pandangan yang benar-benar universal, parameter objektif, metode pengukuran yang presisi, cara dan formulasi ideal  atau kesepakatan resmi dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hasil seni: memperlombakan kelezatan kuliner, mengkompetisikan nilai kecantikan wajah, mempertandingkan tata busana, mengukur keanggunan liuk tari, menentukan taraf menang-kalah suatu alunan musik, memberikan skor pada untaian puisi? Disadari atau tidak, kita telah lama terbiasa “memaksa” mengkompetisikan sesuatu yang memang sejatinya bukan untuk diadu: diperlombakan. Ajang kompetisi bukan satu-satunya jalur untuk menghasilkan pencapaian prestasi artistik dalam seni.



 
Olahraga yang Nyeni dan Seni yang Sportif

     Bagaimana jika cabang-cabang dunia olahraga juga mengembangkan pendekatan  kualitatif sebagaimana kesenian? Setidaknya cabang olahraga tinju dan beladiri sudah lama memberikan contoh tersebut di atas: punya parameter angka dan nilai, kompetisinya tidak hanya bertumpu pada skor angkawi tapi juga nilai (value) kualitatif. Seorang pemenang atau juara bukan lagi siapa yang memperoleh angka tertinggi, yang mampu melumpuhkan lawan, yang berhasil membuat kontestan lain menjadi tak berdaya, yang mengumpulkan poin terbanyak, yang paling duluan mencapai garis finish, yang paling unggul dalam kecepatan dst, tapi juga memerhatikan dan menghormati siapa yang paling kreatif; inovatif; tertib; anggun; indah; bijak; paling menginspirasi; paling baik dalam penampilan lomba: best performance

MISTERI HILANGNYA KANAL YOUTUBE DIVPROPAM POLRI

Ilustrasi

Pentingkah Lembaga Negara Ber-media Sosial?

    Merujuk ke depan berbagai situs data statistik yang menyebut bahwa secara keseluruhan Indonesia memiliki 191,4 juta pengguna berbagai platform media sosial, yang berarti setara dengan 68,9 persen dari total populasi, adalah cukup wajar bila semua pihak baik individual maupun institusional terkondisikan untuk merasa penting ikut terjun dalam belantara dunia maya dengan berbagai latar kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Sebut saja YouTube, Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, TikTok, Telegram dan Zoom, mewakili ratusan platform medium interaksi daring yang berlaku umum dan beramai-ramai rutin diakses dan seolah ‘wajib di-install’ di berbagai gawai. Intensitas dan keaktifan dari akun-akun daring masyarakat Indonesia tentu saja variatif-fluktuatif. Dikutip dari situs katadata.co.id, Indonesia menempati posisi ke-10 dalam daftar peringkat penggunaan media sosial dengan durasi rata-rata 3,2 jam per hari. Terbilang cukup eksis. Menuai (atau malah menghindari) ke-viral-an dan sorotan media adalah impian dan/atau tujuan banyak orang, tidak terkecuali lembaga resmi negara. Di era euforia kebebasan dimana terjadi keberlimpahan data dan banjir informasi ini, munculnya analis dadakan; pengamat instan; mendadak detektif; figur komentator; penyidik swasta; insan spekulan dan kreator liar bukanlah hal baru dan sepenuhnya buruk. Setidaknya hal itu menandaskan bahwa publik telah menjalankan fungsi dan peran pengawalan serta kontrolnya terhadap praktek demokrasi dengan cukup baik, meski tentu terdapat banyak sekali catatan. Profil the power of civil society juga tercermin dalam citizen journalism, yang di Indonesia nyatanya masih bersyarat.

        Berbicara seputar interaksi virtual dan video sharing via laman/aplikasi raksasa bernama YouTube, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna YouTube yang sangat besar: menempati peringkat terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Medium publikasi massa dengan mode kanal berbagi video ini terus menjadi pilihan favorit belakangan ini, selaras dengan habitus masyarakat Indonesia yang boleh dibilang lebih gemar menonton video dan cenderung nyaman terhadap materi audio-visual daripada membaca tulisan naratif panjang, terlebih jika berkaitan dengan isu-isu serius berskala nasional.

    Jika dicermati, nyaris tidak ada lembaga negara berikut sub-subnya yang tidak memiliki akun YouTube. Berbagai bentuk sosialisasi, pengumuman rencana, pencapaian-pencapaian kerja, jajak pendapat, ajang lomba, sayembara dll terjadi dan terekam di sana. Akun-akun media sosial lembaga negara juga sudah lama dijadikan media interaksi publik--bahkan dianggap rujukan resmi--untuk berbagai persoalan serius yang memang sengaja diulas dan disajikan kepada publik melalui kanal-kanal digital tersebut. Juga tak terhitung berapa banyak aneka rilisan berita media massa berbentuk rangkaian kutipan dilengkapi narasi yang dinukil dari aneka posting media sosial; dirujuk dari cuitan, feed, story dan rilisan video. Di sisi lain beragam materi interaksi dunia maya itu juga menjadi rekam jejak virtual/artefak digital yang bisa sangat berguna untuk berbagai keperluan analitik-investigatif. Peluang besar dan dampak positif tentu akan terbuka lebar jika digunakan secara optimal.

    Namun disayangkan sebagian besar akun-akun media sosial lembaga-lembaga resmi negara belum dapat dikatakan sepenuhnya “berstatus resmi” (semi official), pengelolaannya pun belum dirasa maksimal. Sebagai ilustrasi lanjutan dan bahan refleksi, kita bisa mengupasnya melalui pertanyaan: mengapa berbagai akun media sosial yang dianggap resmi dinisbatkan kepada para pemimpin negeri, bahkan sampai sosok RI 1 sekali pun, masih menggunakan atribusi pribadi (baca: namanya sendiri) bukannya menggunakan nomenklatur jabatannya sebagai sosok pelayan publik yang jika saja akun tersebut beratribut kelembagaan ketimbang pribadi tentu akun “resmi” itu dapat terus eksis secara official meski kursi jabatannya telah berganti orang: diduduki oleh siapapun? Sesederhana urusan (nama) akun perbankan suatu lembaga yang tidak boleh menyematkan nama pribadi melainkan institusi. Akun media sosial sebuah institusi sama penting dan resminya sebagaimana halnya kertas kop dan stempel lembaga, demikian idealnya.

    Apakah kita masih bingung memilah urusan dan mendudukkan antara perkara privat dan relasi kelembagaan? Atau masih mengandalkan sebentuk aturan tak tertulis? Apakah sudah dirumuskan aturan dan ketentuan mengenai grup WhatsApp/Telegram aparatur negara? Bukankah lebih elok menggunakan istilah ‘@Bupati_Trenggalek’ dalam menamai akun ketimbang menyematkan nama pribadinya? Tak harus selalu “politis” kan? Bagaimana cara menamai suatu akun media sosial sebuah institusi negara? Siapa yang berhak dan/atau berkewajiban mengelolanya? Tupoksinya siapa?

    Fakta tak terelakkan tersebut di atas merupakan indikasi kuat atau sekurangnya dugaan awal atas kekurangsi(g)apan kita menjawab tantangan global: mengimbangi perkembangan teknologi informasi, yang secara tak langsung juga membuktikan bahwa status dan tata kelola media sosial milik stakeholder negara belum secara resmi diatur, minimal pedoman etiknya.

    Apakah dilema di atas juga melanda akun media sosial (YouTube) Divisi Propam Mabes Polri yang sempat dipimpin Irjen Ferdy Sambo yang sekarang berstatus sebagai tersangka kasus pembunuhan seorang aparat penegak hukum? Akun YouTube sub lembaga negara tersebut dikabarkan hilang dari peredaran. Kok bisa?



Fakta Baru Seputar Mega Kasus Ferdy Sambo Cs dan Hilangnya Kanal YouTube Divisi Penting yang Kemarin Ia Pimpin

    Kasus besar di lingkungan internal lembaga penegak hukum (Polri) bukanlah hal baru. Kini melibatkan seorang jenderal bintang dua, mantan punggawa divisi ‘polisinya para polisi’ di Mabes Polri, Irjen (Pol) Ferdy Sambo. Sampai saat tulisan ini dibuat proses penanganan kasus ‘polisi tembak polisi’ ini sudah menginjak paruh akhir bulan ke-2. Lima orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dengan sangkaan pembunuhan berencana. Yang paling belakang menyandang status tersebut adalah istri Sambo sendiri yang sebelumnya bermain sandiwara korban pelecehan seksual. Tanpa mengurangi empati, sesungguhnya kasus ini adalah

WAFATNYA GURU DAN MURID BANGSA SERTA KRISIS KETELADANAN BERMEDIA


Berita Dukacita

        Rasa dan peristiwa duka cita atas meninggal dunianya seseorang tercinta tentu terjadi setiap hari di muka bumi (nusantara). Kabar beritanya kerap muncul dalam deretan posting di berbagai platform media, sebagaimana juga tersiar melalui toa-toa mushola atau masjid dan aneka medium amplifikasi lainnya: khas Indonesia. Setelah disiarkan dan banyak orang terinformasikan, hal penting berikutnya orang-orang dapat turut mendoakan, belasungkawa dan juga menindaklanjuti urusan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban sepeninggal hidup anak bani Adam. Orang yang kabar wafatnya tersebar sebagian adalah sosok yang kita kenal, sebagian lagi seringkali sebaliknya. Di antaranya pun ada sosok yang barangkali 'bukan siapa-siapa' (nobody) bagi kita tetapi boleh jadi merupakan ‘orang penting' (important person) bagi orang lain. Berita dukacita dan persebarannya ada yang melibatkan sosok penting ternama, namun lebih banyak lagi yang menyangkut kalangan orang biasa pada umumnya. Era informatika menghadirkan peluang yang sama bagi semua orang untuk menyebarkan informasi apa saja seluas-luasnya berikut juga mengupayakannya menjadi trending; hot issue; viral.

        Ahmad Syafi'i Ma'arif, sosok sepuh yang sangat dihormati dan dilabeli sebagai 'Guru Bangsa', alim ulama dan cendekiawan muslim yang sempat atau bahkan selalu menjadi orang nomor satu di lingkungan Muhammadiyah, organisasi massa Islam terbesar ke-2 di Indonesia. Ahmad Syafi'i Ma'arif atau akrab disapa Buya Syafi'i adalah tokoh yang gigih memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, tak kenal lelah menggelorakan wacana dan praktek kebangsaan yang adil bijaksana. Beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ke-Islam-an yang berkemajuan lahir dan batin. Kini beliau tak lagi bersama kita di kehidupan dunia. Sosok sederhana dan terhormat ini telah pergi meninggalkan bumi Indonesia untuk selamanya pada Jumat 27 Mei 2022, di Gamping, Sleman, Yogyakarta pada usia 86 tahun, dikebumikan di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah, Kulon Progo, Yogyakarta. Sulit disebutkan daftarnya, teramat banyak karya, kiprah dan jasa besarnya bagi Islam di nusantara dan seluruh bangsa Indonesia.

        Emmeril Kahn Mumtaz, pria kelahiran New York 25 Juni 1999, putra sulung dari pasangan Ridwan Kamil dan Atalia Praratya, santri sekaligus aktivis sosial, pada medio Juni 2022 namanya sempat menjejali berbagai pemberitaan media massa seantero nusantara. Emmeril, atau akrab disapa Eril, dinilai sebagai anak baik, murid teladan, sekaligus kakak yang sangat baik bagi kedua adiknya, Camillia Laetitia Azzahra dan Arkanan Aidan Misbach. Dalam lawatannya ke negeri Swiss bersama keluarga, Eril mengalami insiden yang membuat dirinya tak dapat menghindar dari tenggelam dan kemudian terbawa arus akibat kian menderasnya aliran air sungai Arae yang kala itu sedang ia renangi bersama banyak orang lainnya. Setelah sepekan dilakukan pencarian, putra sulung Gubernur Jawa Barat ini dinyatakan belum juga dapat ditemukan. Pihak keluarga pun kemudian menyatakan kerelaan dan mengikhlaskan kepergian Eril, selanjutnya kembali pulang ke tanah air sembari terus memantau perkembangan pencarian jasad almarhum. Dan akhirnya jenazahnya berhasil ditemukan. Syahid akhirat, demikianlah kalangan muslim mendefinisikan kepergiannya. Eril wafat di usianya yang ke-23, dikebumikan di pemakaman keluarga di Cimaung, Bandung, Jawa Barat, Senin 13 Juni 2022. Kisah hidup Eril diliputi banyak jejak kebaikan. Setidaknya begitulah banyak orang memberikan kesaksian sepeninggal wafatnya. 


Berjuang dalam Kesunyian

     Sebagaimana Buya Syafii, akun media sosial Eril terbilang jarang aktif mengabarkan update. Kontras dengan kita ataupun anak muda seumuran Eril yang kerap over dalam 'membuka diri' ke khalayak umum dan seringkali merasa penting untuk mengabarkan keseharian, bahkan aktivitas yang sama sekali tak penting untuk orang ketahui. Berjuang dalam kesunyian tanpa riuh publikasi, barangkali itulah yang ditempuh oleh kedua almarhum selama ini. Beliau berdua telah menyajikan segudang prestasi tanpa niat mengukir nama; tanpa jepretan kamera. Ada banyak hal yang memang boleh dan sah saja untuk disiarkan, tapi boleh juga memilih diam-diam. Eril dan Buya patut dijadikan cermin kebersahajaan dalam bermedia (sosial).

Editorial Kewafatan “Biasa” dan “Luar Biasa

     Berbeda dengan pemberitaan atas wafatnya sang Guru Bangsa yang cenderung “tenang”, setidaknya terjadi pada sepanjang dua pekan terakhir di bulan Juni 2022, jagad media mainstream Indonesia cukup riuh oleh berita atas insiden wafatnya Eril. Hal ini berdampak cukup luas terhadap atensi publik. Tak hanya simpati dan empati, curiosity juga mendasari berbagai bentuk sorotan masyarakat dan media terhadap isu ini. Tanpa diduga tiba-tiba banyak orang ikut merasa kehilangan atas kepergian Eril, anak sulung Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan mengekspresikannya di berbagai kanal sharing. Tak pelak 'Demam Eril’ pun seolah "menjangkiti" jagat publikasi massa di berbagai platform media mainstream, terutama yang berbasis internet. Persinggungan dan penekanan pada status ayahnya sebagai pejabat publik–yang bergulat dalam percaturan politik--menjadi keunikan tersendiri dalam pemberitaan. Menjadi bahan publikasi media adalah sebuah konsekuensi logis yang tak terelakkan bagi sosok public figure, baik terjadi secara natural maupun by design; organik atau berbau rekayasa. Insiden kecelakaan wisata yang melibatkan anak seorang pejabat negara tentu akan menjadi perhatian khusus bagi netizen, terlebih lagi awak media, apalagi jika ditambah bahwa pejabat yang bersangkutan menginfokan ihwal peristiwa yang berkaitan dengan namanya kepada khalayak ramai: menggemakan semacam “press release”. Suatu berita memang seringkali meluas karena unsur 'keluarbiasaan', juga sering menonjolkan unsur ‘siapa’ ketimbang berbagai unsur lainnya. Dalam hal musibah yang menimpa Eril, seremonial-editorialnya pun lebih banyak dilakukan dan “diambil alih” oleh media massa ketimbang keluarga yang bersangkutan.

Fakta Krisis Keteladanan Bermedia

        Tanpa bermaksud mengecilkannya, kejadian yang menimpa almarhum Eril yang kemudian menjadi duka bagi kita semua barangkali belum masuk dalam kategori

MENUJU INDAHNYA SUARA MASJID DAN MUSHOLA KITA


Perangkat multimedia telah lama akrab dengan kehidupan keseharian kita. Perkakas tata suara (sound system) juga sudah lama menjadi bagian penting dalam pelaksanaan sebuah acara atau suatu kegiatan, terutama yang melibatkan banyak orang (massa) dalam jumlah besar, termasuk juga agenda peribadatan dan berbagai kegiatan seremonial keagamaan.


Meski demikian pada level operasional praktik terapan penggunaan peralatan pengeras suara dalam kehidupan masyarakat belum dapat dikatakan sepenuhnya optimal: tidak selalu beroperasi secara ideal. Wawasan terkait pemanfaatan teknologi dan teknik operasionalnya masih menjadi PR utama kita bersama. Dalam urusan teknik (audio), masyarakat Indonesia umumnya masih dalam kondisi dijangkiti sindrom twedelities, yakni kecenderungan untuk mengutak-atik berlebihan tanpa didasari pengetahuan terukur dan pengalaman memadai, seperti gampang memutar-mutar knob audio ke kanan dan kiri tanpa tahu fungsi dan tujuan dari apa yang sedang dilakukannya; menekan-nekan tombol ini itu tanpa sesungguhnya paham betul atas apa yang sedang ditekan; mencoba fitur ini itu lebih karena atas dasar perasaan. 


Walhasil, perangkat teknis yang mestinya tersentuh dan terawat secara tepat bisa terancam menjadi lebih singkat umur ekonomisnya, hasil (output) keluarannya pun tentu akan menjauh dari maksimal. Tindakan bernuansa 'aksi penasaran' (untuk tidak mengatakan: 'sotoy') serupa juga mudah sekali ditemukan dalam pengoperasian perkakas elektronik lainnya, penulis pun sempat mengalaminya. 


Segaris lurus antara model pengoperasian dan hasil keluaran, maka sistem penggunaan peralatan tata suara pada ruang publik seyogyanya memang harus menjadi perhatian bersama. Sebagaimana soal ketertiban dan keselamatan berkendara di jalan raya atau himbauan menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya, pedoman, aturan, himbauan dan ketentuan terkait tatanan suara di ruang publik juga sudah lama ada, akan tetapi kita tahu bahwa masih saja ada banyak kendala dalam pelaksanaannya. 


Istilah 'polusi udara' telah akrab di telinga kita, tapi barangkali tidak demikian halnya dengan 'polusi suara'. Padahal ia sama mengganggu dan berbahayanya. Salah satu SOP yang sudah mempedulikannya antara lain misalnya: kewajiban bagi para pekerja lapangan konstruksi; operator mesin; pilot dsb untuk menggunakan ear muff/ear bud untuk menjaga kesehatan indera pendengaran dan juga mental. Itu menyangkut suara yang muncul secara natural sebagai konsekuensi logis dari penyelenggaraan kegiatan kerja, sementara riuh suara (artifisial) yang berasal dari berbagai kegiatan masyarakat seperti hajatan; riuh pasar; deru mesin dan knalpot kendaraan; acara pertunjukan seni; perayaan seremonial keagamaan, sepertinya belum mendapat perhatian merata dan serius dari semua pihak. 


Pengoperasian perangkat audio yang tidak optimal, kurangnya pengendalian tingkat kebisingan suara dan bahkan egosentrisme berbalut religiusitas yang kurang mempedulikan kenyamanan ketertiban, kesehatan lingkungan tentu sangat berpotensi turut menyumbang kenaikan angka tingkat polusi suara, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada terusiknya tatanan harmoni sosial yang selama ini kita bangun. Atas nama ego sektoral kita semua seolah-olah bebas membesarkan level volume mic, amplifier dan speaker. 


Jalan menuju tatanan suara yang tertib, nyaman dan sehat serta pengendalian kebisingan yang optimal sesungguhnya tidaklah rumit. Dimulai dari upaya meningkatkan rasa simpati dan empati terhadap sesama masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan hidup sepertinya sudah lebih dari cukup.


Selaras dengan diterbitkannya surat edaran tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola, medio Februari tahun 2022 ini, sebagai lembaga yang membidangi seni budaya yang akrab dengan perkakas audio dan dunia tata suara, Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan siap bersinergi dengan stakeholder, Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Lembaga Takmir Masjid serta berbagai pihak terkait demi terus terciptanya kenyamanan bersama dan meningkatnya tata suara masjid-musholla yang jauh lebih baik yang tentu saja akan kian mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil 'alamin. Wujud aksi nyatanya bisa berupa penyelenggaraan workshop; pendampingan; pelatihan; lokakarya dsb. Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan dapat menjadi mitra belajar dan berkarya, juga memiliki sumber daya yang cukup mumpuni dalam dunia tata suara (audio engineering). 


**Roy Haris Chandra - Pegiat seni suara, audio engineer, music producer, Ketua Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan

DIKUKUHKAN PADA PERINGATAN HARLAH NU-99, PENGURUS LESBUMI NU TANGERANG SELATAN SIAP GENCARKAN 'DAKWAH KEKINIAN'

     


    Berdasarkan penanggalan Hijriah, di bulan Rajab (Februari) tahun 2022 ini organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, menginjak usianya yang ke-99. Nyaris satu abad sudah NU berkhidmat bagi umat Islam dan bangsa-negara Indonesia. Semarak Harlah NU ke-99 menggeliat dimana-mana oleh para pengurus dan warga Nahdliyin seantero nusantara.

    Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) Tangerang Selatan bersama dengan NU Care Lazisnu Kota Tangerang Selatan yang juga sedang berulang tahun ke-17, turut memeriahkan peringatan harlah NU tahun ini ini dengan menggelar agenda tasyakuran, bincang budaya dan diskusi seputar (seni) entrepreneurship. Acara ini dihadiri para tamu dan undangan dari berbagai komunitas seni budaya dan organisasi kepemudaan di lingkungan Tangerang Selatan: IPNU, IPPNU, Tresna Sundara, GP Anshor-Banser, Kompaq, Himalaya, Mapancas, Alumni PMII, HMI, KNPI Kota Tangerang Selatan dll.


  

     Selain mengilas balik kiprah NU dalam kurun satu abad, agenda 'ngopi bengi' di Saung Kuliner  Mang Ashly (baca: basecamp Lesbumi Tangsel) yang diawali dengan dzikiran dan tahlilan ini juga turut serius membincangkan isu kemandirian ekonomi umat Islam, khususnya di kalangan Nahdliyin, terlebih khusus lagi bagi para Nahdliyin penggelut dunia seni dan budaya.  Para seniman-budayawan (Nahdliyin) dan seluruh hadirin diajak untuk selalu produktif dan lebih serius lagi mengembangkan kreativitas, serta terus menggali berbagai kemungkinan formulasi karya dan peluang usaha kreatif yang lebih berdampak ekonomis, yang pada akhirnya juga akan mendorong terciptanya kesejahteraan umat secara lahir batin, terutama bagi para seniman-budayawan pelaku industri kreatif. Hal yang sama juga ditekankan oleh Ketua NU Care Lazisnu Tangerang Selatan yang juga seniman paduan suara, Mas Ridwan Zein, di sela sambutannya saat ikut membuka acara.

     Tema (seni) entrepreneurship dielaborasi secara apik oleh narasumber, Ustadz Nuryasin, Ketua MWCNU Kecamatan Ciputat Timur, yang juga pengusaha dan aktivis seni dan lingkungan hidup. Sementara wacana Islam dan gerakan seni budaya serta isu kebudayaan nasional diampu oleh peneliti sekaligus calon doktor dalam bidang Islamic cultural studies, Ki Rahmat Hidayatullah MA., dosen ilmu filsafat di Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, seniman musik yang juga penasehat Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan. Diskusi berlangsung asyik dan interaktif antar hadirin  dan narasumber, dipandu dengan jenaka oleh Mas Ipung Republik Sablon, seniman cum pengusaha muda yang juga Wakil Ketua Lesbumi NU Tangerang Selatan.


     Acara 'serius tapi santai' dalam format ngopi-ngopi ini juga disisipi dengan agenda seremonial pengukuhan pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi) Tangerang  Selatan, dipandu langsung oleh para kyai Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Tangerang  Selatan. Dalam sambutannya setelah mengukuhkan pengurus, Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Tangerang Selatan, KH. Abdullah Mas'ud,  menekankan pesan agar Lesbumi NU Tangerang Selatan mampu merespon geliat tantangan era digital: membanjiri internet dengan konten-konten positif bernafaskan Islam aswaja an-Nahdliyah dalam bentuk film pendek, meme, animasi dsb, serta diharapkan mampu mencetak Usmar Ismail (Pahlawan Nasional, Bapak Perfilman Indonesia, Pendiri Lesbumi NU) baru dari lingkungan seniman budayawan NU Tangerang Selatan.



    Senada dengan Ketua PCNU Kota Tangerang Selatan, Ketua Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan yang baru dilantik dan dikukuhkan, Roy Haris Chandra, juga kembali turut menggaungkan ihwal betapa pentingnya upaya menggali pendekatan baru dalam da'wah bil hal. Sebagaimana diteladankan oleh para walisongo, (unsur) seni budaya selalu bisa menjadi medium yang fit dan proper terhadap konteks isu kekinian, terutama berkaitan dengan kalangan muda penerus bangsa. Tangerang  Selatan merupakan kota urban dan wilayah baru yang masih terus bergeliat dalam proses berat pencarian identitas dan jatidiri. Tanpa harus menyampingkan betapa gentingnya isu kearifan lokal, upaya serius untuk terus menemukan cara-cara baru dalam mengampanyekan Islam rahmatan lil 'alamin yang lebih fresh dan cocok dengan corak kosmopolit dari kota Tangerang Selatan akan terus dilakukan oleh Lesbumi. Tidak boleh membiarkan umat Islam Indonesia tergilas arus utama zaman, Lesbumi mesti adaptif: turut hadir mewarnai dan ikut mengendalikannya. Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan akan terus berupaya responsif terhadap isu-isu kekinian.



     Dalam kesempatan ini pengurus baru juga 'melelang' kesempatan, menawarkan kepada para warga Nahdliyin atau kaum muslimin Tangerang Selatan yang menggandrungi dunia seni budaya dan  memiliki visi keumatan dan kebangsaan yang sama untuk ikut berperan aktif, mengambil posisi di kepengurusan berbagai divisi yang ada di bawah naungan bendera Lesbumi NU Tangerang Selatan: divisi seni pertunjukan; seni kriya; multimedia; litbang; public relationship.

    Sebagai wujud rasa syukur atas Harlah NU ke-99, acara ditutup dengan seremoni pemotongan tumpeng sekaligus kick off semarak Harlah NU-99 di Kota Tangerang Selatan, diiringi lantunan shalawat dengan gaya karawitan sunda oleh grup musik angklung-calung binaan Mang Ashly, Sekretaris Lesbumi NU Tangerang Selatan, diteruskan dengan agenda santap malam bersama: ngariung ala santri, dilanjutkan 'ngopi bengi' sampai pagi.

**Tim Media Lesbumi NU  Kota Tangerang Selatan**


MENGGUGAT 'KANTOR WALIKOTA' TANGERANG SELATAN


Takjil. Ya, banyak orang memahami istilah 'takjil' sebagai 'santapan berbuka puasa', meski arti dan makna sesungguhnya sangat jauh dari apa yang sudah terlanjur dipahami bersama. 'Ta'jil'(Bahasa Arab) artinya segera; penyegeraan; menyegerakan atau mempercepat. Istilah tersebut merupakan kata kerja (yang dibendakan) atau istilah yang menunjukkan suatu aktivitas: kegiatan, sementara publik umum menggunakan istilah tersebut untuk menunjuk benda yakni makanan-minuman untuk berbuka puasa, yang rasanya istilah bahasa Arab yang lebih dekat dan tepat adalah 'tho'am'. 

"Nggak (pakai istilah) Arab nggak afdhol, berasa kurang Islam", barangkali begitu pandangan orang-orang yang (getol) mempopulerkan istilah 'takjil'untuk "menggeser" istilah lokal: 'bukaan', yang selama ini sudah jamak dipakai. Politik bahasa. "Keranjingan" Islam, eh, Arabisme.

Biarkan 'kata' lepas dari maknanya. Biarkan ia bergantung pada penyerapan dan pemahaman sang penutur, pendengar atau pembacanya, begitu kata sebagian orang. Apalagi jika dikaitkan dengan seni. Tak perlu rewel. Meski kerap dilanda salah kaprah tapi banyak orang menganggapnya bukan masalah karena toh semua orang dianggap 'auto paham'. Urusan tepat atau melantur bukan masalah besar. Padahal tingginya kebudayaan dan luhurnya peradaban juga ditentukan sejauh mana suatu masyarakat atau bangsa memiliki kepekaan, kecermatan dan ketelitian dalam merumuskan dan menggunakan suatu istilah bahasa (lisan dan tulisan). Tentu saja ini salah satu PR besar dunia pendidikan dan kebudayaan. Bahasa mencerminkan tingkat kecerdasan suatu bangsa. 

Contoh salah kaprah di atas seyogyanya tak boleh terjadi pada ranah peristilahan baku dan resmi yang mengandung unsur legal-formal (hukum). 'Istilah resmi' tidak boleh liar dalam penggunaan apalagi bebas tafsir, misalnya bunyi undang-undang; AD/ART lembaga; redaksi pasal-pasal; nomenklatur jabatan atau penamaan jawatan resmi negara, yang biasanya memuat istilah-istilah atau kata-kata kunci utama yang spesifik, detail dan rinci. Bahasa adalah cermin kewarasan berpikir, citra peradaban suatu bangsa. 

'Kantor Walikota' adalah salah satunya. Sekilas tak ada masalah. Namun bila dicermati lebih dalam, bukankah kata 'walikota' hanya menunjuk kepada satu orang saja? Sementara kantor tersebut jelas bukan satu-satunya diperuntukkan hanya untuk tugas dan fungsi seorang walikota. Ada banyak peran dan pemeran di dalam lokal, gedung dan area kantor tersebut, termasuk wakilnya: sang wakil walikota. Bukankah berbagai jawatan dinas atau perangkat pemerintahan lainnya juga kebanyakan berkantor di tempat yang sama? Mengapa harus tertulis dan terucap seolah sebagai kantornya sang walikota saja?  

Tidak masalah kalau hendak menunjuk pada label suatu ruangan, meja atau kamar kerja. Area gedung perkantoran tempat seorang menteri dan jajarannya bekerja saja disebut ‘kementerian’, bukan ‘kantor menteri’. Pelabelan sebuah kantor tentu bukan untuk mengasosiasikan sosok dengan jabatan tertinggi dalam kantor tersebut. Seluruh abdi masyarakat yang berkhidmat dalam pemerintahan suatu kota bukan bekerja demi satu orang atasan (tertingginya) saja. Kemaslahatan bersama masih merupakan tujuan tertinggi nan mulia dalam praktik kerja pengabdian masyarakat. Meskipun fakta lapangan bisa lain ceritanya. 

Untuk menjaga agar citra elitis tak menghinggapi para punggawa di tubuh pemerintahan, kiranya lebih elok dan bijak jika istilahnya--sekaligus juga plangnya--diubah menjadi 'Kantor Kotamadya' atau 'Kantor Puspemkot', atau apapun istilah yang lebih tepat, lebih baik dan benar, dan tidak lagi menunjuk kepada satu orang subjek pelaku atau sebuah jabatan (tinggi) tertentu saja. Tentu bukan agar 'terkesan membumi dan cair' atau hanya demi kebersamaan, tapi ini adalah juga itikad menjaga kemaslahatan bersama melalui upaya menumbuhkan 'kewarasan berbahasa', yang dalam artian luas juga berarti mengupayakan kemajuan dalam berbudaya. Demi daerah yang lebih berintegritas tinggi dan bermartabat luhur, sekalian memerangi 'wabah megalomania' di negeri Indonesia. 

Dan sayangnya masih ada banyak lagi istilah bermasalah serupa seperti: kantor gubernur, lurah, camat, bupati, dan lain sebagainya, bahkan juga istana presiden. Di kota Tangerang Selatan masih begitu, apakah di daerah anda juga demikian?

Selamat HUT ke-13 Kota Tangerang Selatan (26/11/2021). Semoga segera di-ta'jil-kan update dan upgrade plang yang  telah bertahun-tahun mejeng di depan jalan raya Maruga dimana pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan berada. Semoga kian menjadi kota 'cerdas, modern, relijius' sebagaimana mottonya.

** Roy Haris Chandra, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kota Tangerang Selatan, Pegiat Seni Olah Bunyi

GELAR BEDAH FILM DOA SUTO, LESBUMI TANGSEL GAUNGKAN PENTINGNYA SIKAP SANTUY DALAM BERAGAMA

Lesbumi Tangsel

LESBUMI PCNU Kota Tangerang Selatan bersama Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) Jakarta mengisi pekan terakhir bulan Ramadhan dengan kegiatan bedah film Doa Suto. Film besutan NU Online yang diproduksi Koperasi Film Halte Moencrat dengan sutradara Anton Magaski ini mengisahkan ihwal kegelisahan batin wong cilik pembelajar agama pada apa dan siapa yang dianggap sebagai otoritas keagamaan. 

“Cerita film pendek berdurasi 14 menit 10 detik ini diadaptasi dari salah satu karya cerpen kisah nyata Mohamad Sobary. Produksi film ini memakan waktu kurang lebih tiga bulan. Semoga film ini bisa berperan ampuh sebagai media dakwah yang mengutamakan kesantunan dan tidak menggurui,” ungkap Anton Magaski, sang sutradara yang hadir sebagai narasumber ditemani aktris kenamaan, Erma Zarina, istrinya.

Acara ini dihadiri pula oleh para seniman teater, sineas, aktor, penulis naskah, musisi, jurnalis dan rekan-rekan mahasiswa baik dari dalam maupun luar lingkungan Nahdlatul Ulama. Momen ini juga dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi sekaligus penajaman dalam upaya bersama menggaungkan kampanye positif (Islami) melalui karya seni.

Doa Suto adalah potret riil atas ada dan terus berkembangnya sikap hitam-putih serta kecenderungan kaku dalam menafsirkan ajaran agama. Fenomena ini tidak sulit didapati terutama di kehidupan kalangan urban. Film ini menjadi media strategis issue countering, sekaligus memberi tawaran alternatif sudut dan cara pandang yang jauh lebih jernih atas fenomena unik yang diangkat di dalamnya. Tentunya dengan tetap mengedepankan sikap santuy, slow dan selalu elegan, sebagaimana dicanangkan Pemerintah melalui program nasional Moderasi Beragama oleh Kementerian Agama,” demikian Ketua LESBUMI Tangsel, Roy Haris Chandra,  memantik diskusi pada acara yang dihelat Sabtu malam (8/5), di Saung Mang Ashly, Ciputat.

LESBUMI Tangsel & HIMALAYA

Film Doa Suto ini sangat mudah dicerna oleh siapapun sehingga sangat memungkinkan memberi kesegaran baru bagi kehidupan beragama--Islam. Menariknya, aktor yang bertugas menawarkan pencerahan dalam film ini diperankan oleh musisi lawas Nugie Nugroho yang notabene adalah non muslim.
 
“Konten positif serupa mesti terus diperbanyak, apalagi yang bernuansa reflektif semacam ini. Tak lain dalam rangka mensyiarkan Islam yang bersahabat dan ramah.  Demi Islam dan Indonesia yang lebih baik,” tutup Ketua Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) Jakarta, Farid Kurtubi, yang memoderasi jalannya diskusi.

Penulis: Roy Haris Chandra

WAWASAN SENI BUDAYA

 Oleh: Roy Haris Chandra 

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN 

Kebudayaan, ringkasnya adalah segala proses yang dijalani dan/atau hasil—kreasi apapun-- yang diciptakan oleh makhluk hidup bernama manusia, melalui kemampuan olah cipta, rasa dan  karsa-nya. Proses dan hasilnya tidak terbatas pada yang akali, tapi juga rasawi, bahkan pula rohani. Ber-kebudayaan adalah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Wujud kebudayaan  dapat berbentuk abstrak (ide) ataupun konkrit (materil): pemikiran, gagasan, tulisan, aturan,  kesepakatan, tata cara, tata kelola, benda-benda, kegiatan, peristiwa, dsb. Politik, ekonomi,  sosial, “agama”, ilmu-pengetahuan dan kesenian adalah juga termasuk bentuk-bentuk konkret dari kebudayaan. Titik  tolak dan “titik tujuan akhir” kebudayaan adalah manusia itu sendiri: dari, oleh, dan untuk  (ke)manusia(an).  

Dalam pengertian umum, hewan dan tumbuhan dapat disebut tidak ber-kebudayaan, karena  tidak memiliki perangkat budaya. Apa-apa yang tidak bersifat budaya (kultur) akan otomatis  dianggap bersifat alamiah/natural (nurtur), meski demikian keduanya tetap saja saling terkait. Sebagai  contoh: manusia merasakan lapar sebagai peristiwa alamiah, ia nyata-nyatanya tak pernah punya  kendali penuh atas organ tubuhnya sendiri yang bernama lambung, sudah ada mekanisme alamiah  yang berjalan sendiri di dalam perut sana. Manusia memenuhi kebutuhan (bertahan) hidupnya dengan  berkebudayaan: dari kegiatan primitif mencari dan mengumpulkan makanan, lalu muncul aneka cara  mengolah dan memasak makanan serta beragam perkakas dapur. Dari situ berkembanglah tata kelola  makanan-minuman, lalu lahirlah dunia kuliner yang tiap-tiap wilayah memiliki khasnya masing masing. Demikianlah, makan-minum tidak hanya urusan perut dan lidah, ia sudah berkembang  sedemikian jauh dan kompleks. Manusia memang bukan makhluk alamiah murni. Sebagai medium  tempat manusia hidup, kebudayaan tak dapat terlepas dari alam dan hukum-hukumnya. Kebudayaan  juga berfungsi mengendalikan atau bekerjasama dengan alam, atau sebaliknya: merusaknya,  memusuhinya.

  

Kata ‘budaya’ dan ‘kebudayaan’ pada prinsipnya bersifat netral, sebagaimana kata ‘nilai’,  ‘harga’, ‘kualitas’, ‘karakter’, atau ‘adab’. Maka ada kebudayaan yang (dianggap) tinggi, menengah ataupun rendah, baik maupun buruk, luhur, dsb. Dalam penggunaan umum sehari-hari, kata ‘budaya’  sudah terlanjur sering disama-artikan dengan ‘kebiasaan’, sementara istilah ‘kebudayaan’ kerap dipersempit  maknanya dan kadung melulu dihubung-hubungkan hanya dengan kesenian atau pun adat istiadat belaka. Terlalu sering pula ia dijadikan sebagai sekadar alat promosi dunia industri, terutama bisnis pariwisata dan  hiburan.  


SENI DAN KEHIDUPAN KITA 

Apa itu seni? Ini sama sulitnya dengan mendefinisikan ‘cinta’ atau tak kalah peliknya dengan  merumuskan ‘bahagia’. Tidak ada definisi baku, kaku, dan final bagi istilah ‘seni’. Tapi melalui  peristiwa besar bernama kehidupan setidaknya manusia tahu bahwa ‘seni’ adalah sisi lain dari  ‘cara/teknik’ untuk melakukan; membuat; mencapai sesuatu. Seni inheren di dalam cara manusia  menyikapi dan mengemas suatu hal. Seni adalah aneka siasat manusia dalam mengolah suatu bentuk. Ia adalah juga  ‘cara alternatif’ (another/unique way) untuk mencapai suatu tujuan. Seni selalu berkaitan dengan  sesuatu yang berwujud (indrawi: empiris). Dalam sudut lain, seni adalah juga ide atau gagasan yang mengejawantah menjadi bentuk tertentu yang biasa dikenal sebagai karya seni . 

Manusia membutuhkan tempat bernaung. Awalnya menempati gua, lalu membuat rumah  untuk tempat tinggal. Teknik atau tata cara membuat rumah kemudian disebut ilmu pertukangan  bangunan (teknik konstruksi). Sebagai ilmu ia tentu bersifat logis-rasional (kalkulatif-matematis).  Akan tetapi untuk membangun sebuah rumah, ilmu teknik konstruksi tidak dapat berdiri sendiri.  Selain perhitungan ilmiah ada juga perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan lain yang pasti  menyertai proses kreatif penciptaan sebuah rumah tinggal. Urusan desain dari suatu rumah bukanlah lagi  murni urusan ilmu teknik melainkan beririsan, bersinggungan bahkan sudah masuk ke wilayah seni. Selain kecenderungan “ber indah-indah ria”, tentu ada banyak lagi pertimbangan-pertimbangan lain yang melingkupi proses penciptaan  sebuah rumah, seperti: keamanan-kenyamanan (pertimbangan moral), efektifitas-efisiensi  (pertimbangan ekonomi), administratif (pertimbangan hukum), lingkungan alam (pertimbangan  kesehatan), keberkahan (pertimbangan religius/kepercayaan), dsb. Jelas bahwa benda-benda  (kebudayaan materil) buatan manusia adalah reka-cipta kolaboratif berbagai unsur, dan tidak pernah  tidak punya sisi artistik (nyeni) sama sekali. Perkakas seperti golok, keris, badik, celurit, rencong dsb malah lebih  sering dianggap sebagai benda seni, ketimbang disebut sebagai perkakas rumahan biasa. Hal yang sama  berlaku juga untuk kuliner, fashion, otomotif, dsb. Seni sudah sedemikian melekat pada keseharian kita. 

Seni memang bukanlah apa-apa, ia adalah kehidupan manusia itu sendiri. Karya seni adalah  kegiatan; aktivitas (peristiwa) dan/atau benda bernilai seni. Karya bisa merupakan upaya ataupun  hasilnya. Ada seni yang berperan mengiringi atau menguatkan suatu fungsi dan tujuan tertentu, ia disebut ‘seni terapan’ (fungsional art). Sebaliknya adalah ‘seni murni’ (fine art), seni yang lebih  mengedepankan pencapaian nilai artistik dan/atau intelektual sebagai arah dan tujuan utamanya: prinsipnya adalah ‘seni untuk seni’. ‘Seni murni’ menemukan otonominya dan lebih berkembang di  bawah peradaban Barat, sementara ‘seni fungsional’ tetap berjalan sebagaimana alamiahnya, terutama  (di dunia Timur) karena menyatu dengan bermacam kearifan lokal. Kini, keduanya saling tumpang tindih.

Istilah ‘seni’ berasal dari kata ‘sani’ (bahasa Sansekerta) yang berarti ‘pemujaan’. Awalnya,  apa yang kini kita sebut sebagai karya atau pertunjukan seni--bahkan istilah ‘seniman’--adalah tidak  ada, karena dalam sejarah umat manusia mulanya seni memang menyatu-padu dalam berbagai kegiatan seremonial, upacara adat dan ritual  kepercayaan atau praktik keagamaan yang di dalamnya terdapat gerak tubuh (tari), bebunyian musik, nyanyian puji-pujian (koor), puisi,  aksi teatrikal, dsb. Dari situlah (karya) seni muncul lalu berkembang secara terpisah dan terbagi menjadi berbagai  jenis, cabang dan ranting: seni musik, tari, rupa, kriya, sastra, multi art (teater, film) dsb. 

Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan, pada skala peradaban umum konsep tentang seni selalu  berubah-ubah sesuai dinamika kebudayaan. Karena ia tak bisa lepas dari konteks luas kebudayaan  maka kesenian juga menjadi salah satu penanda utama zaman. Corak pemikiran dan pandangan  filsafat adalah dua hal yang paling mendasari dan mempengaruhi suatu zaman, yang kemudian biasa disebut  paham; aliran, isme atau ideologi. Naturalisme, positivisme, modernisme, kolonialisme,  sosialisme, kapitalisme, komunisme, individualisme, liberalisme, ekstrimisme, atheisme, feminisme dll adalah beberapa di antara isme-isme  yang berjejal mewarnai dunia. Dalam ranah seni, sejauh ini ada beberapa ‘aliran dan paham kesenian’ yang  berkembang, diantaranya: Ekspresionisme, Impresionisme, Surealisme, Kontemporer,  Avantgardisme. Isme-isme dalam kesenian ini tentu saja tidak berdiri sendiri melainkan dilandasi isme-isme lain yang lebih besar sebagai inangnya. Kesenian tidak bisa lepas dari konteks luas kebudayaan. 

KESENIAN DAN KEINDAHAN 

Art is lie that enables us to realize the truth” ( Pablo Picasso) 

Apa rasanya saat menatap sekeliling alam ketika kita berada di atas puncak gunung? Apa rasa  yang hadir sewaktu kita melihat hamparan laut begitu luas seakan tak berujung saat kita berada di atas  kapal laut di tengah samudera? Bagaimana rasanya melihat hamparan awan saat kita berada di atas  pesawat terbang? Apa rasanya rebahan santai di atap rumah sambil menatap seksama gemerlap bintang di langit? Jawaban masing-masing orang tentu bisa berbeda, akan tetapi setidaknya ada  kemiripan rasa yang mengarah pada satu pengalaman yang sama, yakni: ketakjuban atau  keterpukauan--dalam level yang berbeda-beda. Apakah itu yang disebut ‘indah’ (beauty)? Apakah  hanya alam saja yang bisa kita sebut indah? Tentu ia boleh saja disebut ‘indah’, dalam arti telah  membuat kita jatuh terpesona dan membawa diri kita kepada dimensi yang lebih dalam dan tinggi di  balik segala sesuatu. Keharuan dan keterpukauan yang tak terjelaskan itu membuat diri kita tersadar  bahwa kita tak lebih hanyalah butiran debu di hadapan luasnya semesta. ‘Indah’ dimaksud adalah komunikasi  ruhani antara kita dan batin semesta. Banyak sekali hal yang tidak bisa diutarakan, tidak bisa  diterangjelaskan secara tuntas oleh manusia. Karenanya keindahan apapun dan ekspresinya melalui  ‘seni’ bisa sangat dekat dan amat terkait erat dengan indera batin, bahkan religiusitas/keagamaan. 

Seni; karya seni; dan kesenian adalah bentuk ekspresi pemikiran, perasaan, emosi, batin,  iman, dan seluruh potensi yang ada pada diri manusia--berkenaan dengan pengalaman hidupnya. Ia  adalah perpaduan unik antara kehalusan rasa, kecanggihan keterampilan, kecerdasan imajinasi dan  intelektual dan kedalaman batin: IQ, EQ, SQ. Ada karya seni yang lebih menonjolkan salah satu atau  seimbang antara ketiganya.


  

APRESIASI DAN KREASI SENI 

Anggapan dan sikap kita tentang sesuatu sangat terikat dengan konteks kultural (konstruksi  budaya setempat). Konsep kecantikan bisa berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Hakikat seni di  berbagai kebudayaan pun demikian. Kebudayaan di suatu tempat tidak selalu sesuai dan belum tentu  cocok dengan kebudayaan di tempat lain. Apresiasi kita atas seni juga tak bisa dipolakan secara  umum. Tak ada ukuran yang pasti dan seragam untuk menilai seni--karena itu pada hakikatnya karya  seni tidak bisa diperlombakan. Penafsiran atas suatu karya seni bisa beragam. Menakar suatu nilai  seni dari sebuah karya mesti melibatkan peninjauan budaya. Apakah akhirnya kemudian dinilai  sebagai seni yang ‘dangkal’ atau ‘mendalam’; enak; lezat; indah; keren ataupun sebaliknya, itu adalah hak sang  penilai. Kedangkalan pemahaman, kesempitan wawasan, atau kebingungan seringkali menjadikan kita  sulit (atau bahkan gagal) menangkap apa yang seniman mau sampaikan. Seni, pada tingkat paling  serius biasanya filosofis, mengandung perenungan mendalam: reflektif-kontemplatif, metafisis,  mistis, transenden. Indah atau tidak indah seringkali tidak penting karena memang karya seni tidak  selalu berkaitan dengan keindahan. Yang ‘tidak/belum indah’ pun sah disebut karya seni. Dalam  berkarya, seniman tidak selalu bermaksud hendak ber-indah-indah ria. Maka ‘nyeni’ dan ‘indah’  adalah dua hal yang berbeda. Seni tidaklah selalu menyenangkan. Sejatinya ia juga bukan sekedar hiburan. 

Konon, kadar kepekaan indera (batin) para pelaku seni levelnya di atas rata-rata orang  kebanyakan. Pengalaman inderawi sehari-hari mampu mendorong intuisi dan memancing imajinasi kreatif mereka untuk merekam atau melakukan reka ulang atas suatu peristiwa. Seni juga berupaya mengungkap sesuatu lain di balik  sesuatu. Seni adalah tentang ‘ada udang apa di balik batu’. Seniman melakukan berbagai olahan untuk  menghadirkan makna baru (konotatif-simbolik), menawarkan cara pandang baru, alternatif persepsi baru tentang sesuatu. Memang seni adalah bahasa, namun ia supra-linguistik; metakognisi. Seni adalah ‘permainan tingkat  tinggi’, caranya beroperasi mirip cara kerja “politik” atau pemasaran (marketing/bisnis). Karya seni hadir sebagai  potret dari berbagai fakta yang ada di tengah lapangan kehidupan masyarakat. Dengan berkarya,  seniman yang baik mestilah bertanggung jawab menjalankan peran dan fungsi sosial-nya sebagai manusia berbudaya tinggi, yakni ikut bersama-sama menata, membenahi dan menjaga kehidupan bersama. Imajinasi  adalah kendaraan yang menghantarkan seniman ke mana saja, ke tempat tak terjamah atau bahkan ke tempat yang tak mungkin ada  sekalipun. Seni adalah ruang alternatif. Seni adalah kebebasan, kebebasan yang berbatasan dan berdampingan dengan  kebebasan-kebebasan lain--yang seyogyanya rukun. Bebas tidak sama dengan liar. Idealnya, seni  adalah aktivitas yang berupaya penuh untuk memanusiakan manusia. Maka semua orang adalah seniman dengan kehidupan masing masing sebagai karya seninya. Mari berkesenian, dalam bingkai kebudayaan tinggi dan luhur. 


UNTUK APA SENI? 

Untuk kemanusiaan yang adil dan beradab. Titik. 


ROCK, SOUND AND SOCIAL MOVEMENT

oleh : Roy Haris Chandra

FENOMENA BESAR ABAD 20 : (R)EVOLUSI MUSIK, ROCK DI GARDA DEPAN   

Rock adalah suatu “konteks, tema,watak, karakteristik, paham, aliran, sistem, teknik, jenis, tipe, model, kategori, corak, warna, rupa, bentuk dan gaya musikal”, lahir dan berkembang di benua Amerika.  Mayoritas pendapat mengatakan bahwa awal kemunculannya adalah pada kuartal pertama dari abad ke-20. Sebagaimana banyak jenis musik lainnya di Amerika, ibu kandung musik rock adalah blues, yang merupakan“anak nakal”-nya musik (ballad) klasik. Oleh karena itu, membahas rock berarti juga membicarakan blues ; sebagai akar “musik populer” (Amerika). Musik blues berakar dari musik tradisional belahan barat Afrika yang dipadu padankan dengan tradisi musik klasik Eropa-Kristiani ; sebagai budaya yang di anti-tesa-kannya(baca : diberontak). Blues juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya melawan hegemoni Eropa, kultur dominan pada masa itu. Sekurang-kurangnya, pemberontakan dengan cara (dan dalam hal) artistik. Menentang “Kristen”, melawan estetikanya; dalam nuansa pergerakan yang kooperatif. Di era rasisme tersebut blues tidakhanya sebuah tipe musik tapi juga bentuk pola pikir dan jalan hidup bagi banyakAfro-Amerika (masyarakat kelas pekerja/budak, yang konon mayoritasnya muslim) di era itu. Blues menjadi medium ekspresi dan gaya musik yang khas dan mandiri ditengah pertentangan borjuis-proletar. Kemunculan dan perkembangan musik rockjuga tidak bisa dilepaskan dari blues serta dinamika pergerakan sosial masyarakat kulit hitam di Amerika. Pada perkembangannya, blues kemudian tidak hanya terbatas bagi mereka yang Afro-Amerika saja, tapi juga digemari di kalangan kulit putih  (meski diapresiasi/difungsikan secara eksklusif, serampangan). Walhasil, “milik kulit hitam” tersebut lagi-lagi “dirampas”kulit putih, bolak-balik dibawa dari Amerika ke Inggris dan sebaliknya.

TENTANG PELATARAN FACEBOOK KITA

      
Sudah cukup kita ketahui dan rasakan bersama, bahwa kebanyakan orang masa kini kerap aktif menggunakan fasilitas jejaring sosial dalam frekuensi yang intens dan volume yang rapat. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi jaman, yang mendorong kita menjadi haus informasi, maka internet-pun sudah menjadi kebutuhan. Dengan demikian sudah tentu kita berinteraksi dengan banyak pihak/orang lain. Ada satu hal yang sangat perlu digaris bawahi, yakni masih banyak dari kita yang belum bisa memberikan apresiasi yang baik terhadap canggihnya teknologi informasi masa kini, (terutama dalam bentuk jejaring sosial) dan bahwa kita belum sepenuhnya mengerti tentang  terbukanya celah lebar untuk dapat mengeruk manfaat positif dari luasnya jejaring dunia maya, ditambah lagi dengan kurang adanya keinginan dan kesadaran yang kuat untuk menggunakannya lebih dari sekedar tempat bergaul dan bergumul,  sehingga masih banyak yang memfungsikannya hanya sebagai lapak pembuangan uneg-uneg dengan membangun wacana curhat dan informasi hati (kasus ; facebook, twitter)

Sebut saja pada situs jejaring sosial bernama Facebook misalnya. Mungkin sudah tak terhitung jumlahnya, berapa kali kita mengaksesnya dalam kurun waktu tak lebih dari satu minggu. Ada banyak hal positif yang sudah sama-sama kita rasakan dengan adanya jejaring publik yang menyertakan fitur pertemanan ini ; hikmah bertemu teman-teman lama, berdiskusi dalam sebuah grup misanya. Jejaring sosial memang tempat yang terbuka luas dan tanpa batas secara jarak, tetapi seyogyanya kita tetap menjunjung tinggi nilai, moral dan etika dalam bergaul di dalamnya (tata krama berkomunikasi). Setidaknya, kita pastikan untuk selalu memberi porsi lebih bagi otak di kepala kita, untuk senantiasa berpikir terarah, rapih dan matang, jeli dalam mengambil sikap dan bertindak, misalnya saja dalam : menulis status, berkomentar, menginterupsi, mengkritik, memberi saran, me-like, bertanya dan menjawab serta berbagai varian aktivitas Facebook lainnya, karena ini semua berhubungan dengan banyak pihak, menyangkut berbagai soal. Andai ini kurang di-insyafi, maka alih-alih mengambil manfaat positif, ber-Facebook ria malah bisa jadi mendatangkan mudharat (menuai permusuhan, like or dislike, konflik interest, berantem mindset, berebut gebetan, sinisme dsb  (bahkan bisa menjelma menjadi kabar-kabar buruk, seperti yang sudah banyak diberitakan di berbagai media) ; penipuan, penculikan dsb. Untuk itu, mari kita lebih giatkan diri lagi untuk membiasakan 'berpikir sebelum bertindak' serta bersikap lebih bijaksana, meski hanya dalam Facebook.