WAWASAN SENI BUDAYA

 Oleh: Roy Haris Chandra 

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN 

Kebudayaan, ringkasnya adalah segala proses yang dijalani dan/atau hasil—kreasi apapun-- yang diciptakan oleh makhluk hidup bernama manusia, melalui kemampuan olah cipta, rasa dan  karsa-nya. Proses dan hasilnya tidak terbatas pada yang akali, tapi juga rasawi, bahkan pula rohani. Ber-kebudayaan adalah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Wujud kebudayaan  dapat berbentuk abstrak (ide) ataupun konkrit (materil): pemikiran, gagasan, tulisan, aturan,  kesepakatan, tata cara, tata kelola, benda-benda, kegiatan, peristiwa, dsb. Politik, ekonomi,  sosial, “agama”, ilmu-pengetahuan dan kesenian adalah juga termasuk bentuk-bentuk konkret dari kebudayaan. Titik  tolak dan “titik tujuan akhir” kebudayaan adalah manusia itu sendiri: dari, oleh, dan untuk  (ke)manusia(an).  

Dalam pengertian umum, hewan dan tumbuhan dapat disebut tidak ber-kebudayaan, karena  tidak memiliki perangkat budaya. Apa-apa yang tidak bersifat budaya (kultur) akan otomatis  dianggap bersifat alamiah/natural (nurtur), meski demikian keduanya tetap saja saling terkait. Sebagai  contoh: manusia merasakan lapar sebagai peristiwa alamiah, ia nyata-nyatanya tak pernah punya  kendali penuh atas organ tubuhnya sendiri yang bernama lambung, sudah ada mekanisme alamiah  yang berjalan sendiri di dalam perut sana. Manusia memenuhi kebutuhan (bertahan) hidupnya dengan  berkebudayaan: dari kegiatan primitif mencari dan mengumpulkan makanan, lalu muncul aneka cara  mengolah dan memasak makanan serta beragam perkakas dapur. Dari situ berkembanglah tata kelola  makanan-minuman, lalu lahirlah dunia kuliner yang tiap-tiap wilayah memiliki khasnya masing masing. Demikianlah, makan-minum tidak hanya urusan perut dan lidah, ia sudah berkembang  sedemikian jauh dan kompleks. Manusia memang bukan makhluk alamiah murni. Sebagai medium  tempat manusia hidup, kebudayaan tak dapat terlepas dari alam dan hukum-hukumnya. Kebudayaan  juga berfungsi mengendalikan atau bekerjasama dengan alam, atau sebaliknya: merusaknya,  memusuhinya.

  

Kata ‘budaya’ dan ‘kebudayaan’ pada prinsipnya bersifat netral, sebagaimana kata ‘nilai’,  ‘harga’, ‘kualitas’, ‘karakter’, atau ‘adab’. Maka ada kebudayaan yang (dianggap) tinggi, menengah ataupun rendah, baik maupun buruk, luhur, dsb. Dalam penggunaan umum sehari-hari, kata ‘budaya’  sudah terlanjur sering disama-artikan dengan ‘kebiasaan’, sementara istilah ‘kebudayaan’ kerap dipersempit  maknanya dan kadung melulu dihubung-hubungkan hanya dengan kesenian atau pun adat istiadat belaka. Terlalu sering pula ia dijadikan sebagai sekadar alat promosi dunia industri, terutama bisnis pariwisata dan  hiburan.  


SENI DAN KEHIDUPAN KITA 

Apa itu seni? Ini sama sulitnya dengan mendefinisikan ‘cinta’ atau tak kalah peliknya dengan  merumuskan ‘bahagia’. Tidak ada definisi baku, kaku, dan final bagi istilah ‘seni’. Tapi melalui  peristiwa besar bernama kehidupan setidaknya manusia tahu bahwa ‘seni’ adalah sisi lain dari  ‘cara/teknik’ untuk melakukan; membuat; mencapai sesuatu. Seni inheren di dalam cara manusia  menyikapi dan mengemas suatu hal. Seni adalah aneka siasat manusia dalam mengolah suatu bentuk. Ia adalah juga  ‘cara alternatif’ (another/unique way) untuk mencapai suatu tujuan. Seni selalu berkaitan dengan  sesuatu yang berwujud (indrawi: empiris). Dalam sudut lain, seni adalah juga ide atau gagasan yang mengejawantah menjadi bentuk tertentu yang biasa dikenal sebagai karya seni . 

Manusia membutuhkan tempat bernaung. Awalnya menempati gua, lalu membuat rumah  untuk tempat tinggal. Teknik atau tata cara membuat rumah kemudian disebut ilmu pertukangan  bangunan (teknik konstruksi). Sebagai ilmu ia tentu bersifat logis-rasional (kalkulatif-matematis).  Akan tetapi untuk membangun sebuah rumah, ilmu teknik konstruksi tidak dapat berdiri sendiri.  Selain perhitungan ilmiah ada juga perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan lain yang pasti  menyertai proses kreatif penciptaan sebuah rumah tinggal. Urusan desain dari suatu rumah bukanlah lagi  murni urusan ilmu teknik melainkan beririsan, bersinggungan bahkan sudah masuk ke wilayah seni. Selain kecenderungan “ber indah-indah ria”, tentu ada banyak lagi pertimbangan-pertimbangan lain yang melingkupi proses penciptaan  sebuah rumah, seperti: keamanan-kenyamanan (pertimbangan moral), efektifitas-efisiensi  (pertimbangan ekonomi), administratif (pertimbangan hukum), lingkungan alam (pertimbangan  kesehatan), keberkahan (pertimbangan religius/kepercayaan), dsb. Jelas bahwa benda-benda  (kebudayaan materil) buatan manusia adalah reka-cipta kolaboratif berbagai unsur, dan tidak pernah  tidak punya sisi artistik (nyeni) sama sekali. Perkakas seperti golok, keris, badik, celurit, rencong dsb malah lebih  sering dianggap sebagai benda seni, ketimbang disebut sebagai perkakas rumahan biasa. Hal yang sama  berlaku juga untuk kuliner, fashion, otomotif, dsb. Seni sudah sedemikian melekat pada keseharian kita. 

Seni memang bukanlah apa-apa, ia adalah kehidupan manusia itu sendiri. Karya seni adalah  kegiatan; aktivitas (peristiwa) dan/atau benda bernilai seni. Karya bisa merupakan upaya ataupun  hasilnya. Ada seni yang berperan mengiringi atau menguatkan suatu fungsi dan tujuan tertentu, ia disebut ‘seni terapan’ (fungsional art). Sebaliknya adalah ‘seni murni’ (fine art), seni yang lebih  mengedepankan pencapaian nilai artistik dan/atau intelektual sebagai arah dan tujuan utamanya: prinsipnya adalah ‘seni untuk seni’. ‘Seni murni’ menemukan otonominya dan lebih berkembang di  bawah peradaban Barat, sementara ‘seni fungsional’ tetap berjalan sebagaimana alamiahnya, terutama  (di dunia Timur) karena menyatu dengan bermacam kearifan lokal. Kini, keduanya saling tumpang tindih.

Istilah ‘seni’ berasal dari kata ‘sani’ (bahasa Sansekerta) yang berarti ‘pemujaan’. Awalnya,  apa yang kini kita sebut sebagai karya atau pertunjukan seni--bahkan istilah ‘seniman’--adalah tidak  ada, karena dalam sejarah umat manusia mulanya seni memang menyatu-padu dalam berbagai kegiatan seremonial, upacara adat dan ritual  kepercayaan atau praktik keagamaan yang di dalamnya terdapat gerak tubuh (tari), bebunyian musik, nyanyian puji-pujian (koor), puisi,  aksi teatrikal, dsb. Dari situlah (karya) seni muncul lalu berkembang secara terpisah dan terbagi menjadi berbagai  jenis, cabang dan ranting: seni musik, tari, rupa, kriya, sastra, multi art (teater, film) dsb. 

Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan, pada skala peradaban umum konsep tentang seni selalu  berubah-ubah sesuai dinamika kebudayaan. Karena ia tak bisa lepas dari konteks luas kebudayaan  maka kesenian juga menjadi salah satu penanda utama zaman. Corak pemikiran dan pandangan  filsafat adalah dua hal yang paling mendasari dan mempengaruhi suatu zaman, yang kemudian biasa disebut  paham; aliran, isme atau ideologi. Naturalisme, positivisme, modernisme, kolonialisme,  sosialisme, kapitalisme, komunisme, individualisme, liberalisme, ekstrimisme, atheisme, feminisme dll adalah beberapa di antara isme-isme  yang berjejal mewarnai dunia. Dalam ranah seni, sejauh ini ada beberapa ‘aliran dan paham kesenian’ yang  berkembang, diantaranya: Ekspresionisme, Impresionisme, Surealisme, Kontemporer,  Avantgardisme. Isme-isme dalam kesenian ini tentu saja tidak berdiri sendiri melainkan dilandasi isme-isme lain yang lebih besar sebagai inangnya. Kesenian tidak bisa lepas dari konteks luas kebudayaan. 

KESENIAN DAN KEINDAHAN 

Art is lie that enables us to realize the truth” ( Pablo Picasso) 

Apa rasanya saat menatap sekeliling alam ketika kita berada di atas puncak gunung? Apa rasa  yang hadir sewaktu kita melihat hamparan laut begitu luas seakan tak berujung saat kita berada di atas  kapal laut di tengah samudera? Bagaimana rasanya melihat hamparan awan saat kita berada di atas  pesawat terbang? Apa rasanya rebahan santai di atap rumah sambil menatap seksama gemerlap bintang di langit? Jawaban masing-masing orang tentu bisa berbeda, akan tetapi setidaknya ada  kemiripan rasa yang mengarah pada satu pengalaman yang sama, yakni: ketakjuban atau  keterpukauan--dalam level yang berbeda-beda. Apakah itu yang disebut ‘indah’ (beauty)? Apakah  hanya alam saja yang bisa kita sebut indah? Tentu ia boleh saja disebut ‘indah’, dalam arti telah  membuat kita jatuh terpesona dan membawa diri kita kepada dimensi yang lebih dalam dan tinggi di  balik segala sesuatu. Keharuan dan keterpukauan yang tak terjelaskan itu membuat diri kita tersadar  bahwa kita tak lebih hanyalah butiran debu di hadapan luasnya semesta. ‘Indah’ dimaksud adalah komunikasi  ruhani antara kita dan batin semesta. Banyak sekali hal yang tidak bisa diutarakan, tidak bisa  diterangjelaskan secara tuntas oleh manusia. Karenanya keindahan apapun dan ekspresinya melalui  ‘seni’ bisa sangat dekat dan amat terkait erat dengan indera batin, bahkan religiusitas/keagamaan. 

Seni; karya seni; dan kesenian adalah bentuk ekspresi pemikiran, perasaan, emosi, batin,  iman, dan seluruh potensi yang ada pada diri manusia--berkenaan dengan pengalaman hidupnya. Ia  adalah perpaduan unik antara kehalusan rasa, kecanggihan keterampilan, kecerdasan imajinasi dan  intelektual dan kedalaman batin: IQ, EQ, SQ. Ada karya seni yang lebih menonjolkan salah satu atau  seimbang antara ketiganya.


  

APRESIASI DAN KREASI SENI 

Anggapan dan sikap kita tentang sesuatu sangat terikat dengan konteks kultural (konstruksi  budaya setempat). Konsep kecantikan bisa berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Hakikat seni di  berbagai kebudayaan pun demikian. Kebudayaan di suatu tempat tidak selalu sesuai dan belum tentu  cocok dengan kebudayaan di tempat lain. Apresiasi kita atas seni juga tak bisa dipolakan secara  umum. Tak ada ukuran yang pasti dan seragam untuk menilai seni--karena itu pada hakikatnya karya  seni tidak bisa diperlombakan. Penafsiran atas suatu karya seni bisa beragam. Menakar suatu nilai  seni dari sebuah karya mesti melibatkan peninjauan budaya. Apakah akhirnya kemudian dinilai  sebagai seni yang ‘dangkal’ atau ‘mendalam’; enak; lezat; indah; keren ataupun sebaliknya, itu adalah hak sang  penilai. Kedangkalan pemahaman, kesempitan wawasan, atau kebingungan seringkali menjadikan kita  sulit (atau bahkan gagal) menangkap apa yang seniman mau sampaikan. Seni, pada tingkat paling  serius biasanya filosofis, mengandung perenungan mendalam: reflektif-kontemplatif, metafisis,  mistis, transenden. Indah atau tidak indah seringkali tidak penting karena memang karya seni tidak  selalu berkaitan dengan keindahan. Yang ‘tidak/belum indah’ pun sah disebut karya seni. Dalam  berkarya, seniman tidak selalu bermaksud hendak ber-indah-indah ria. Maka ‘nyeni’ dan ‘indah’  adalah dua hal yang berbeda. Seni tidaklah selalu menyenangkan. Sejatinya ia juga bukan sekedar hiburan. 

Konon, kadar kepekaan indera (batin) para pelaku seni levelnya di atas rata-rata orang  kebanyakan. Pengalaman inderawi sehari-hari mampu mendorong intuisi dan memancing imajinasi kreatif mereka untuk merekam atau melakukan reka ulang atas suatu peristiwa. Seni juga berupaya mengungkap sesuatu lain di balik  sesuatu. Seni adalah tentang ‘ada udang apa di balik batu’. Seniman melakukan berbagai olahan untuk  menghadirkan makna baru (konotatif-simbolik), menawarkan cara pandang baru, alternatif persepsi baru tentang sesuatu. Memang seni adalah bahasa, namun ia supra-linguistik; metakognisi. Seni adalah ‘permainan tingkat  tinggi’, caranya beroperasi mirip cara kerja “politik” atau pemasaran (marketing/bisnis). Karya seni hadir sebagai  potret dari berbagai fakta yang ada di tengah lapangan kehidupan masyarakat. Dengan berkarya,  seniman yang baik mestilah bertanggung jawab menjalankan peran dan fungsi sosial-nya sebagai manusia berbudaya tinggi, yakni ikut bersama-sama menata, membenahi dan menjaga kehidupan bersama. Imajinasi  adalah kendaraan yang menghantarkan seniman ke mana saja, ke tempat tak terjamah atau bahkan ke tempat yang tak mungkin ada  sekalipun. Seni adalah ruang alternatif. Seni adalah kebebasan, kebebasan yang berbatasan dan berdampingan dengan  kebebasan-kebebasan lain--yang seyogyanya rukun. Bebas tidak sama dengan liar. Idealnya, seni  adalah aktivitas yang berupaya penuh untuk memanusiakan manusia. Maka semua orang adalah seniman dengan kehidupan masing masing sebagai karya seninya. Mari berkesenian, dalam bingkai kebudayaan tinggi dan luhur. 


UNTUK APA SENI? 

Untuk kemanusiaan yang adil dan beradab. Titik. 


Cara Membuat Sendiri Holder HP Mobil