TELAAH KRITIS PERTUNJUKAN OLAHRAGA DAN SENI

Pertunjukan olahraga? Olahraga kok pertunjukan?

     Ya, tidak ada masalah pada kalimat di atas jika kita sejenak pelan-pelan memikirkan dan merenungkannya lebih dalam, luas dan menyeluruh. Mari kita coba ulas secara ringkas-padat-cepat: sekali duduk.

     Pertunjukan, sederhananya mensyaratkan empat hal: penyaji, penyimak, tatap muka secara langsung (realtime/live) dan venue  (arena). Pada sisi penyaji tentu saja melekat atau terdapat ‘materi yang disajikan’, sementara penyimak mendapatkan ‘materi sajian yang disimak’. Peristiwa penyajian dan penyimakan dan segala sarana-prasarana serta mekanisme yang melingkupi dan menunjangnya sering disebut sebagai event; acara; program. Disebut ‘sajian dokumentasi pertunjukan’ jika bukan disajikan secara live: dalam bentuk pemutaran rekaman (gambar, video, audio). Selama empat unsur tersebut di atas ada dan terpenuhi maka suatu ‘peristiwa’ sebagaimana digambarkan di atas dapat kita sebut sebagai ‘pertunjukan’, tak peduli di bidang apa atau terkait apa materi sajiannya: kesenian, olahraga, pendidikan, ajaran, bimbingan, panduan, orasi, data, kritik, informasi, demonstrasi dll. Tampil di muka umum, menyampaikan sesuatu, ada tujuan yang hendak dicapai, disimak orang, sesederhana itulah pengertian pertunjukan. 

     Pertunjukan tetaplah pertunjukan, dengan atau tanpa unsur kompetisi (pertandingan, perlombaan) dalam performanya. Bahkan pada seremonial keagamaan pun sisi “pertunjukan” ada. Oleh karena itu para pelaku seni pertunjukan (musisi, penari, teaterawan, komedian, storyteller), artis, entertainer, selebriti, aktor, penyair, atlet, pendakwah, guru, dosen, pelatih, demonstran, pemandu acara, narasumber, pengarah diskusi, penyaji berita, pengamen, badut, politisi, komandan/petugas upacara dan kontestan lomba sesungguhnya adalah performer yang menggandrungi dan menjalani bidang pertunjukannya masing-masing. ‘Pertunjukan’ tidaklah identik dengan seni dan bukan sesuatu eksklusif miliknya. Dalam ranah seni sendiri tidak semua cabang kesenian berhubungan dengan pertunjukan atau penampilan. Ada banyak sekali kesenian non pertunjukan: seni murni, seni fungsional. Sementara dalam ranah olahraga, hampir dapat dipastikan bahwa 99% geliat kehidupannya bermuara pada show: penampilan lapangan. Meski demikian ada juga olahraga murni dan fungsional sebagaimana yang ada pada seni. 

    Olahraga mensyaratkan adanya gerakan ketangkasan fisik. Olahraga adalah laku gerak kebertubuhan yang intens dan dominan. Jika unsur tersebut minim atau bahkan tidak ada samasekali maka sesungguhnya ia belum dapat disebut sebuah kegiatan olahraga melainkan hanya games atau suatu permainan biasa: catur, bridge, billiard, balap motor/mobil dsb, boleh dianggap setara karambol, congklak, ular tangga, remi, gaplek dsb.  Games dan sport seringkali dianggap sama. Memang ada kendala dalam mengklasifikasikan apakah suatu permainan--apalagi yang melibatkan keaktifan fisik--bisa disebut olahraga atau hanya berkedudukan sebagai ‘permainan’ saja mengingat seringkali keduanya sudah bercampurbaur, melebur jadi satu. Banyak permainan (games) yang melibatkan unsur fisik secara dominan dan bercorak sangat olahragawi, misalnya pada banyak ragam permainan tradisonal anak nusantara: dampu, getok lele, galasin, petak umpet, gobak sodor, taplak bulan, lompat karet, egrang dll. Aneka permainan tradisional khas nusantara tersebut biasanya bukan sekadar permainan yang menyenangkan dan membuat riang tapi juga mendorong ketangkasan fisik dan melatih ketangguhan mental, kebugaran jasmani-rohani, ada unsur pendidikan luhur yang terangkut di dalamnya dan tentu saja tidak hanya terkait perkara kalah-menang. Di sudut lain juga ada kesulitan membedakan mana yang olahraga dan mana yang seni, seperti antara tarian dan senam atau pada beladiri yang mau dikategorikan sebagai olahraga atau malah seni. 

     Olahraga  dan seni pada dasarnya adalah siasat permainan gerak, bentuk, rupa, olah perasaan dan pikiran. Baik olahraga ataupun seni keduanya sama-sama permainan, maka ada istilah pemain basket, pemain gitar dsb.  Ditinjau dari sisi permainan, ada satu hal yang cukup tegas membedakan antara olahraga dan seni, yakni aspek kompetisi: unsur perlombaan, nuansa pertandingan. Dalam olahraga selalu ada unsur kompetisi: melekat inheren pada dirinya sendiri. Artinya, olahraga pada umumnya, kecuali olahraga murni dan fungsional, adalah permainan yang diperlombakan atau perlombaan permainan. Segala hal yang melingkupi permainan (baca: pertandingan) dalam suatu cabang olahraga memiliki dasar rasionaliasi yang tegas, sangat terukur, punya aturan yang biasanya memuat hal-hal yang sangat kuantitatif--jarang kualitatif. Ada serangkaian kesepakatan baku dalam permainan yang harus dijalankan dan diindahkan setiap pemain dan tim penilai (baca: performer panggung permainan olahraga) yang merupakan syarat mutlak terselenggaranya pertunjukan olahraga tersebut. Karena kuatnya pendekatan kuantitatif-kompetitif yang digunakan dalam permainan olahraga, maka skor atau capaian angka-angka menjadi tujuan utama, berujung pada tiga buah status kemungkinan pencapaian akhir: kalah, menang atau seri. Olahraga adalah bidang yang sangat kuantitatif-objektif, cenderung bernuansa hitam-putih; tegas terhadap perkara salah-benar dan menang-kalah. Di sisi lain ada pula olahraga yang murni sebagai olahraga, bukan sebagai permainan apalagi pertunjukan. Menurut penulis, olahraga murni nan hakiki hanya ada tiga: jalan kaki, lari dan senam (gymnastic; sit up; pull up; squat jump; push up; senam kebugaran jasmani), yang tentu saja bukan dalam konteks dikompetisikan. Ketiganya murni bermotivasi 'cari sehat', benar-benar bertujuan memperoleh kebugaran jasmani dan kesehatan jiwa-raga, sangat ngeklik dan matching dengan motto mensana in corpore sano. Sampai di sini juga dapat disimpulkan bahwa dalam olahraga dan seni ada dua jenis pertunjukan:  pertunjukan murni dan pertunjukan kompetisi “adu kehebatan”.

     Beralih ke seni. Berbeda dengan olahraga, permainan seni bersifat lebih terbuka, tidak memiliki keterukuran ketat, lebih condong bersifat kualitatif-reflektif, tidak rekoris atau berorientasi skor dan bukan bertujuan menang-kalah-seri. Sesungguhnya aspek kompetisi sangatlah sulit untuk berlaku dalam dunia kesenian karena sejatinya kesenian memang tidak bisa diperlombakan. Adalah perkara rumit, berat dan pelik, atau boleh disebut masih jauh dari mungkin untuk kita menemukan pandangan yang benar-benar universal, parameter objektif, metode pengukuran yang presisi, cara dan formulasi ideal  atau kesepakatan resmi dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hasil seni: memperlombakan kelezatan kuliner, mengkompetisikan nilai kecantikan wajah, mempertandingkan tata busana, mengukur keanggunan liuk tari, menentukan taraf menang-kalah suatu alunan musik, memberikan skor pada untaian puisi? Disadari atau tidak, kita telah lama terbiasa “memaksa” mengkompetisikan sesuatu yang memang sejatinya bukan untuk diadu: diperlombakan. Ajang kompetisi bukan satu-satunya jalur untuk menghasilkan pencapaian prestasi artistik dalam seni.



 
Olahraga yang Nyeni dan Seni yang Sportif

     Bagaimana jika cabang-cabang dunia olahraga juga mengembangkan pendekatan  kualitatif sebagaimana kesenian? Setidaknya cabang olahraga tinju dan beladiri sudah lama memberikan contoh tersebut di atas: punya parameter angka dan nilai, kompetisinya tidak hanya bertumpu pada skor angkawi tapi juga nilai (value) kualitatif. Seorang pemenang atau juara bukan lagi siapa yang memperoleh angka tertinggi, yang mampu melumpuhkan lawan, yang berhasil membuat kontestan lain menjadi tak berdaya, yang mengumpulkan poin terbanyak, yang paling duluan mencapai garis finish, yang paling unggul dalam kecepatan dst, tapi juga memerhatikan dan menghormati siapa yang paling kreatif; inovatif; tertib; anggun; indah; bijak; paling menginspirasi; paling baik dalam penampilan lomba: best performance