MENGGUGAT 'KANTOR WALIKOTA' TANGERANG SELATAN


Takjil. Ya, banyak orang memahami istilah 'takjil' sebagai 'santapan berbuka puasa', meski arti dan makna sesungguhnya sangat jauh dari apa yang sudah terlanjur dipahami bersama. 'Ta'jil'(Bahasa Arab) artinya segera; penyegeraan; menyegerakan atau mempercepat. Istilah tersebut merupakan kata kerja (yang dibendakan) atau istilah yang menunjukkan suatu aktivitas: kegiatan, sementara publik umum menggunakan istilah tersebut untuk menunjuk benda yakni makanan-minuman untuk berbuka puasa, yang rasanya istilah bahasa Arab yang lebih dekat dan tepat adalah 'tho'am'. 

"Nggak (pakai istilah) Arab nggak afdhol, berasa kurang Islam", barangkali begitu pandangan orang-orang yang (getol) mempopulerkan istilah 'takjil'untuk "menggeser" istilah lokal: 'bukaan', yang selama ini sudah jamak dipakai. Politik bahasa. "Keranjingan" Islam, eh, Arabisme.

Biarkan 'kata' lepas dari maknanya. Biarkan ia bergantung pada penyerapan dan pemahaman sang penutur, pendengar atau pembacanya, begitu kata sebagian orang. Apalagi jika dikaitkan dengan seni. Tak perlu rewel. Meski kerap dilanda salah kaprah tapi banyak orang menganggapnya bukan masalah karena toh semua orang dianggap 'auto paham'. Urusan tepat atau melantur bukan masalah besar. Padahal tingginya kebudayaan dan luhurnya peradaban juga ditentukan sejauh mana suatu masyarakat atau bangsa memiliki kepekaan, kecermatan dan ketelitian dalam merumuskan dan menggunakan suatu istilah bahasa (lisan dan tulisan). Tentu saja ini salah satu PR besar dunia pendidikan dan kebudayaan. Bahasa mencerminkan tingkat kecerdasan suatu bangsa. 

Contoh salah kaprah di atas seyogyanya tak boleh terjadi pada ranah peristilahan baku dan resmi yang mengandung unsur legal-formal (hukum). 'Istilah resmi' tidak boleh liar dalam penggunaan apalagi bebas tafsir, misalnya bunyi undang-undang; AD/ART lembaga; redaksi pasal-pasal; nomenklatur jabatan atau penamaan jawatan resmi negara, yang biasanya memuat istilah-istilah atau kata-kata kunci utama yang spesifik, detail dan rinci. Bahasa adalah cermin kewarasan berpikir, citra peradaban suatu bangsa. 

'Kantor Walikota' adalah salah satunya. Sekilas tak ada masalah. Namun bila dicermati lebih dalam, bukankah kata 'walikota' hanya menunjuk kepada satu orang saja? Sementara kantor tersebut jelas bukan satu-satunya diperuntukkan hanya untuk tugas dan fungsi seorang walikota. Ada banyak peran dan pemeran di dalam lokal, gedung dan area kantor tersebut, termasuk wakilnya: sang wakil walikota. Bukankah berbagai jawatan dinas atau perangkat pemerintahan lainnya juga kebanyakan berkantor di tempat yang sama? Mengapa harus tertulis dan terucap seolah sebagai kantornya sang walikota saja?  

Tidak masalah kalau hendak menunjuk pada label suatu ruangan, meja atau kamar kerja. Area gedung perkantoran tempat seorang menteri dan jajarannya bekerja saja disebut ‘kementerian’, bukan ‘kantor menteri’. Pelabelan sebuah kantor tentu bukan untuk mengasosiasikan sosok dengan jabatan tertinggi dalam kantor tersebut. Seluruh abdi masyarakat yang berkhidmat dalam pemerintahan suatu kota bukan bekerja demi satu orang atasan (tertingginya) saja. Kemaslahatan bersama masih merupakan tujuan tertinggi nan mulia dalam praktik kerja pengabdian masyarakat. Meskipun fakta lapangan bisa lain ceritanya. 

Untuk menjaga agar citra elitis tak menghinggapi para punggawa di tubuh pemerintahan, kiranya lebih elok dan bijak jika istilahnya--sekaligus juga plangnya--diubah menjadi 'Kantor Kotamadya' atau 'Kantor Puspemkot', atau apapun istilah yang lebih tepat, lebih baik dan benar, dan tidak lagi menunjuk kepada satu orang subjek pelaku atau sebuah jabatan (tinggi) tertentu saja. Tentu bukan agar 'terkesan membumi dan cair' atau hanya demi kebersamaan, tapi ini adalah juga itikad menjaga kemaslahatan bersama melalui upaya menumbuhkan 'kewarasan berbahasa', yang dalam artian luas juga berarti mengupayakan kemajuan dalam berbudaya. Demi daerah yang lebih berintegritas tinggi dan bermartabat luhur, sekalian memerangi 'wabah megalomania' di negeri Indonesia. 

Dan sayangnya masih ada banyak lagi istilah bermasalah serupa seperti: kantor gubernur, lurah, camat, bupati, dan lain sebagainya, bahkan juga istana presiden. Di kota Tangerang Selatan masih begitu, apakah di daerah anda juga demikian?

Selamat HUT ke-13 Kota Tangerang Selatan (26/11/2021). Semoga segera di-ta'jil-kan update dan upgrade plang yang  telah bertahun-tahun mejeng di depan jalan raya Maruga dimana pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan berada. Semoga kian menjadi kota 'cerdas, modern, relijius' sebagaimana mottonya.

** Roy Haris Chandra, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kota Tangerang Selatan, Pegiat Seni Olah Bunyi

Merokok di Dekat Bensin? Aman Tidak Berbahaya

Cara Membuat Es Krim Lolipop Buah

ROAD TO Tangerang Selatan

ROAD TO Tangerang

ROAD TO Serang

ROAD TO Serua

Cara belajar pindah kunci gitar pemula

Cara Membuat Lagu Sendiri Tercepat dalam 15 menit

Cara Menyalakan Korek Gas yang Sudah Habis #seeroytv #anekacara #mengint...