MENUJU INDAHNYA SUARA MASJID DAN MUSHOLA KITA


Perangkat multimedia telah lama akrab dengan kehidupan keseharian kita. Perkakas tata suara (sound system) juga sudah lama menjadi bagian penting dalam pelaksanaan sebuah acara atau suatu kegiatan, terutama yang melibatkan banyak orang (massa) dalam jumlah besar, termasuk juga agenda peribadatan dan berbagai kegiatan seremonial keagamaan.


Meski demikian pada level operasional praktik terapan penggunaan peralatan pengeras suara dalam kehidupan masyarakat belum dapat dikatakan sepenuhnya optimal: tidak selalu beroperasi secara ideal. Wawasan terkait pemanfaatan teknologi dan teknik operasionalnya masih menjadi PR utama kita bersama. Dalam urusan teknik (audio), masyarakat Indonesia umumnya masih dalam kondisi dijangkiti sindrom twedelities, yakni kecenderungan untuk mengutak-atik berlebihan tanpa didasari pengetahuan terukur dan pengalaman memadai, seperti gampang memutar-mutar knob audio ke kanan dan kiri tanpa tahu fungsi dan tujuan dari apa yang sedang dilakukannya; menekan-nekan tombol ini itu tanpa sesungguhnya paham betul atas apa yang sedang ditekan; mencoba fitur ini itu lebih karena atas dasar perasaan. 


Walhasil, perangkat teknis yang mestinya tersentuh dan terawat secara tepat bisa terancam menjadi lebih singkat umur ekonomisnya, hasil (output) keluarannya pun tentu akan menjauh dari maksimal. Tindakan bernuansa 'aksi penasaran' (untuk tidak mengatakan: 'sotoy') serupa juga mudah sekali ditemukan dalam pengoperasian perkakas elektronik lainnya, penulis pun sempat mengalaminya. 


Segaris lurus antara model pengoperasian dan hasil keluaran, maka sistem penggunaan peralatan tata suara pada ruang publik seyogyanya memang harus menjadi perhatian bersama. Sebagaimana soal ketertiban dan keselamatan berkendara di jalan raya atau himbauan menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya, pedoman, aturan, himbauan dan ketentuan terkait tatanan suara di ruang publik juga sudah lama ada, akan tetapi kita tahu bahwa masih saja ada banyak kendala dalam pelaksanaannya. 


Istilah 'polusi udara' telah akrab di telinga kita, tapi barangkali tidak demikian halnya dengan 'polusi suara'. Padahal ia sama mengganggu dan berbahayanya. Salah satu SOP yang sudah mempedulikannya antara lain misalnya: kewajiban bagi para pekerja lapangan konstruksi; operator mesin; pilot dsb untuk menggunakan ear muff/ear bud untuk menjaga kesehatan indera pendengaran dan juga mental. Itu menyangkut suara yang muncul secara natural sebagai konsekuensi logis dari penyelenggaraan kegiatan kerja, sementara riuh suara (artifisial) yang berasal dari berbagai kegiatan masyarakat seperti hajatan; riuh pasar; deru mesin dan knalpot kendaraan; acara pertunjukan seni; perayaan seremonial keagamaan, sepertinya belum mendapat perhatian merata dan serius dari semua pihak. 


Pengoperasian perangkat audio yang tidak optimal, kurangnya pengendalian tingkat kebisingan suara dan bahkan egosentrisme berbalut religiusitas yang kurang mempedulikan kenyamanan ketertiban, kesehatan lingkungan tentu sangat berpotensi turut menyumbang kenaikan angka tingkat polusi suara, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada terusiknya tatanan harmoni sosial yang selama ini kita bangun. Atas nama ego sektoral kita semua seolah-olah bebas membesarkan level volume mic, amplifier dan speaker. 


Jalan menuju tatanan suara yang tertib, nyaman dan sehat serta pengendalian kebisingan yang optimal sesungguhnya tidaklah rumit. Dimulai dari upaya meningkatkan rasa simpati dan empati terhadap sesama masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan hidup sepertinya sudah lebih dari cukup.


Selaras dengan diterbitkannya surat edaran tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola, medio Februari tahun 2022 ini, sebagai lembaga yang membidangi seni budaya yang akrab dengan perkakas audio dan dunia tata suara, Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan siap bersinergi dengan stakeholder, Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Lembaga Takmir Masjid serta berbagai pihak terkait demi terus terciptanya kenyamanan bersama dan meningkatnya tata suara masjid-musholla yang jauh lebih baik yang tentu saja akan kian mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil 'alamin. Wujud aksi nyatanya bisa berupa penyelenggaraan workshop; pendampingan; pelatihan; lokakarya dsb. Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan dapat menjadi mitra belajar dan berkarya, juga memiliki sumber daya yang cukup mumpuni dalam dunia tata suara (audio engineering). 


**Roy Haris Chandra - Pegiat seni suara, audio engineer, music producer, Ketua Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan

Tidak ada komentar: