MISTERI HILANGNYA KANAL YOUTUBE DIVPROPAM POLRI

Ilustrasi

Pentingkah Lembaga Negara Ber-media Sosial?

    Merujuk ke depan berbagai situs data statistik yang menyebut bahwa secara keseluruhan Indonesia memiliki 191,4 juta pengguna berbagai platform media sosial, yang berarti setara dengan 68,9 persen dari total populasi, adalah cukup wajar bila semua pihak baik individual maupun institusional terkondisikan untuk merasa penting ikut terjun dalam belantara dunia maya dengan berbagai latar kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Sebut saja YouTube, Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, TikTok, Telegram dan Zoom, mewakili ratusan platform medium interaksi daring yang berlaku umum dan beramai-ramai rutin diakses dan seolah ‘wajib di-install’ di berbagai gawai. Intensitas dan keaktifan dari akun-akun daring masyarakat Indonesia tentu saja variatif-fluktuatif. Dikutip dari situs katadata.co.id, Indonesia menempati posisi ke-10 dalam daftar peringkat penggunaan media sosial dengan durasi rata-rata 3,2 jam per hari. Terbilang cukup eksis. Menuai (atau malah menghindari) ke-viral-an dan sorotan media adalah impian dan/atau tujuan banyak orang, tidak terkecuali lembaga resmi negara. Di era euforia kebebasan dimana terjadi keberlimpahan data dan banjir informasi ini, munculnya analis dadakan; pengamat instan; mendadak detektif; figur komentator; penyidik swasta; insan spekulan dan kreator liar bukanlah hal baru dan sepenuhnya buruk. Setidaknya hal itu menandaskan bahwa publik telah menjalankan fungsi dan peran pengawalan serta kontrolnya terhadap praktek demokrasi dengan cukup baik, meski tentu terdapat banyak sekali catatan. Profil the power of civil society juga tercermin dalam citizen journalism, yang di Indonesia nyatanya masih bersyarat.

        Berbicara seputar interaksi virtual dan video sharing via laman/aplikasi raksasa bernama YouTube, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna YouTube yang sangat besar: menempati peringkat terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Medium publikasi massa dengan mode kanal berbagi video ini terus menjadi pilihan favorit belakangan ini, selaras dengan habitus masyarakat Indonesia yang boleh dibilang lebih gemar menonton video dan cenderung nyaman terhadap materi audio-visual daripada membaca tulisan naratif panjang, terlebih jika berkaitan dengan isu-isu serius berskala nasional.

    Jika dicermati, nyaris tidak ada lembaga negara berikut sub-subnya yang tidak memiliki akun YouTube. Berbagai bentuk sosialisasi, pengumuman rencana, pencapaian-pencapaian kerja, jajak pendapat, ajang lomba, sayembara dll terjadi dan terekam di sana. Akun-akun media sosial lembaga negara juga sudah lama dijadikan media interaksi publik--bahkan dianggap rujukan resmi--untuk berbagai persoalan serius yang memang sengaja diulas dan disajikan kepada publik melalui kanal-kanal digital tersebut. Juga tak terhitung berapa banyak aneka rilisan berita media massa berbentuk rangkaian kutipan dilengkapi narasi yang dinukil dari aneka posting media sosial; dirujuk dari cuitan, feed, story dan rilisan video. Di sisi lain beragam materi interaksi dunia maya itu juga menjadi rekam jejak virtual/artefak digital yang bisa sangat berguna untuk berbagai keperluan analitik-investigatif. Peluang besar dan dampak positif tentu akan terbuka lebar jika digunakan secara optimal.

    Namun disayangkan sebagian besar akun-akun media sosial lembaga-lembaga resmi negara belum dapat dikatakan sepenuhnya “berstatus resmi” (semi official), pengelolaannya pun belum dirasa maksimal. Sebagai ilustrasi lanjutan dan bahan refleksi, kita bisa mengupasnya melalui pertanyaan: mengapa berbagai akun media sosial yang dianggap resmi dinisbatkan kepada para pemimpin negeri, bahkan sampai sosok RI 1 sekali pun, masih menggunakan atribusi pribadi (baca: namanya sendiri) bukannya menggunakan nomenklatur jabatannya sebagai sosok pelayan publik yang jika saja akun tersebut beratribut kelembagaan ketimbang pribadi tentu akun “resmi” itu dapat terus eksis secara official meski kursi jabatannya telah berganti orang: diduduki oleh siapapun? Sesederhana urusan (nama) akun perbankan suatu lembaga yang tidak boleh menyematkan nama pribadi melainkan institusi. Akun media sosial sebuah institusi sama penting dan resminya sebagaimana halnya kertas kop dan stempel lembaga, demikian idealnya.

    Apakah kita masih bingung memilah urusan dan mendudukkan antara perkara privat dan relasi kelembagaan? Atau masih mengandalkan sebentuk aturan tak tertulis? Apakah sudah dirumuskan aturan dan ketentuan mengenai grup WhatsApp/Telegram aparatur negara? Bukankah lebih elok menggunakan istilah ‘@Bupati_Trenggalek’ dalam menamai akun ketimbang menyematkan nama pribadinya? Tak harus selalu “politis” kan? Bagaimana cara menamai suatu akun media sosial sebuah institusi negara? Siapa yang berhak dan/atau berkewajiban mengelolanya? Tupoksinya siapa?

    Fakta tak terelakkan tersebut di atas merupakan indikasi kuat atau sekurangnya dugaan awal atas kekurangsi(g)apan kita menjawab tantangan global: mengimbangi perkembangan teknologi informasi, yang secara tak langsung juga membuktikan bahwa status dan tata kelola media sosial milik stakeholder negara belum secara resmi diatur, minimal pedoman etiknya.

    Apakah dilema di atas juga melanda akun media sosial (YouTube) Divisi Propam Mabes Polri yang sempat dipimpin Irjen Ferdy Sambo yang sekarang berstatus sebagai tersangka kasus pembunuhan seorang aparat penegak hukum? Akun YouTube sub lembaga negara tersebut dikabarkan hilang dari peredaran. Kok bisa?



Fakta Baru Seputar Mega Kasus Ferdy Sambo Cs dan Hilangnya Kanal YouTube Divisi Penting yang Kemarin Ia Pimpin

    Kasus besar di lingkungan internal lembaga penegak hukum (Polri) bukanlah hal baru. Kini melibatkan seorang jenderal bintang dua, mantan punggawa divisi ‘polisinya para polisi’ di Mabes Polri, Irjen (Pol) Ferdy Sambo. Sampai saat tulisan ini dibuat proses penanganan kasus ‘polisi tembak polisi’ ini sudah menginjak paruh akhir bulan ke-2. Lima orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dengan sangkaan pembunuhan berencana. Yang paling belakang menyandang status tersebut adalah istri Sambo sendiri yang sebelumnya bermain sandiwara korban pelecehan seksual. Tanpa mengurangi empati, sesungguhnya kasus ini adalah kasus kriminal pembunuhan “biasa”, hanya saja karena melibatkan nama-nama besar di tubuh kepolisian: pangkat-pangkat mentereng dan jabatan-jabatan strategis, tak pelak kasus kriminal umum ini pun menyedot perhatian publik (warganet). Tak kurang dari 83 orang personel polisi “diamankan” dengan dugaan keterlibatan membantu kejahatan dan/atau menghalangi penyelidikan dan penyidikan kasus. Polisi versus polisi, marwah kepolisian RI jadi taruhan. Atensi publik tentu saja tinggi. Trending topic, viral. Ratusan asumsi, spekulasi, klaim, sanggahan, pengungkapan, pembuktian, grafik reka ulang, analisa, meme, dugaan skenario, selorohan, drama dsb terkait kasus ini mencuat bertaburan, tetapi yang paling penting adalah bahwa kita semua menaruh peduli dan masih punya harapan kepada kepolisian RI.

    Masyarakat, terutama penggemar film aksi kriminal, persekongkolan jahat dan konspirasi busuk, tentu saja dilanda berbagai penasaran dan menunjukkan aneka empati serta berbagi kepedulian, bukti konkret dan optimisme tinggi bahwa Indonesia bisa bersih dari berbagai macam kejahatan, dari dan oleh aparat penegak hukum sekali pun. Maka yang paling mungkin masyarakat lakukan adalah menelusuri jejak digital pihak-pihak yang terlibat dalam kasus. Akun Instagram Irjen (Pol) Ferdy Sambo (@fredysambo_) dikabarkan sudah tidak aktif lagi sejak ia ditetapkan sebagai tersangka. Siapa dan apa (motif) yang membuat akun Instagramnya hilang dari peredaran boleh saja dianggap tak terlalu penting dengan alasan urusan privasi. Tapi penting diingat bahwa ketika seseorang mengemban amanat penting dari negara, maka citra negara juga auto melekat pada dirinya, tidak terkecuali aktivitas pribadi yang dibagikannya di media sosial. Bisa jadi teladan bagi masyarakat atau sebaliknya. Meski hanya bermotif keingintahuan biasa (kepo) atau hanya demi menghilangkan rasa penasaran, gencarnya profiling mendalam yang masyarakat lakukan adalah bagian dari kecintaan kepada negeri. Terkait penegakan hukum, masyarakat juga berhak memberikan informasi atau malah berkewajiban melaporkan jika ada kejanggalan, menemukan petunjuk sederhana atau bukti penting yang terdapat pada postingan akun sosial media seorang terlapor; terduga; tersangka; terdakwa sebuah perkara hukum, yang mungkin-mungkin saja luput dari pengamatan penegak hukum. Sebagai informasi, ada juga akun Twitter warganet yang tiba-tiba menghilang karena menyoroti kasus besar Ferdy Sambo ini.


     Salah satu akun media sosial kepolisian RI yang sudah cukup bersahabat dengan warganet Indonesia adalah NTMC. NTMC Polri patut diacungi jempol. Giat membagikan informasi penting seputar lalu lintas dsb melalui akun-akun media sosialnya. Manfaatnya sangat terasa bagi masyarakat. Mari kita berandai-andai, bagaimana jika jawatan NTMC Polri dilanda kasus besar di internal kemudian akun-akun media sosialnya yang selama ini sudah dianggap sangat baik tiba-tiba menghilang dari peredaran? Apakah hanya karena petingginya terlibat kasus kriminal lalu akun-akun media sosial atau bahkan website lembaganya harus dinonaktifkan? Tak tahan menanggung malu akibat ulah oknum?

    Sayangnya kekhawatiran di atas benar-benar terjadi pada akun YouTube milik Divisi Propam Mabes Polri. Padahal konten-konten di akun YouTube resmi tersebut tentunya berisi hal-hal penting bagi masyarakat, memuat rekaman kinerja, bukti pencapaian positif lembaga bersangkutan, bahkan bisa jadi catatan sejarah. Menurut pengamatan penulis, akun YouTube tersebut dibuat dan mulai aktif saat Ferdy Sambo menjabat sebagai Kadiv Propam Mabes Polri, sekitar tahun 2021. Umumnya kanal tersebut berisi kegiatan Kadiv Propam. Di antaranya bertemu dengan sejumlah Kapolres terkait pembahasan peraturan hingga kode etik kepolisian. Penulis sendiri sempat menjadi penyimak kanal tersebut. Berdasarkan laporan penelusuran Suara Denpasar lewat situs analitik Social Blade (18/08/2022), kanal YouTube bernama Divpropam Polri sedikitnya telah mengunggah 27 buah video. Kanal tersebut dibuat pada tanggal 15 Juli 2021. Data terakhir juga menunjukkan jumlah subscriber sebanyak 796. Untuk diketahui, di sisi lain juga ada aplikasi ‘Propam Presisi’, sarana pengaduan berbasis mobile perihal polisi ‘nakal’ temuan masyarakat, boleh dianggap sebuah prestasi keren dari Divisi Propam Mabes Polri. Yang satu ini jelas tidak boleh ikutan menghilang. Kita juga harus pantau dan pastikan akun-akun Divpropam Polri lainnya sehat dan aman.

    Akun YouTube Divisi Propam Polri memang tidak berhubungan langsung dengan kasus kriminal Irjen (Pol) Ferdy Sambo dan kawanannya. Tapi sepertinya bukanlah urusan sulit untuk menyelidiki siapa yang melakukan tindakan sengaja (baca: sewenang-wenang) melenyapkan sebuah kanal penting berstatus resmi milik negara, meski sekadar akun YouTube sekalipun. Memang hal ini tidak seberat tindakan menghilangkan barang/alat bukti, tapi menghapus jejak catatan sejarah adalah kejahatan kemanusiaan yang sulit sekali dimaafkan. Jika terjadi demikian, berarti ada sesuatu yang patut kita teliti bahkan curigai. Mestilah diperjelas dan hasil penelitiannya harus diketahui publik. Mengingat isi dari kanal tersebut sangat penting bagi masyarakat kini dan nanti, maka mestilah diusut tuntas siapa yang menyebabkan akun YouTube Divisi Propam Polri kini hilang dari peredaran. Di-suspend? Diretaskah? Apakah ada etika yang dilabrak atau hukum yang dikangkangi atas kepergian akun YouTube ini?

    Semoga tulisan ini dapat menjadi semacam masukan dan saran, atau barangkali petunjuk sederhana yang boleh jadi menuntun kepada berbagai ketersingkapan berbagai fakta baru dalam penanganan kasus gurita Ferdy Sambo Cs. Selamat berbenah dan maju terus Kepolisian Republik Indonesia!


**Roy Haris Chandra, pegiat sosial-media dan literasi digital, YouTube @SEEROY TV


=========
Disclaimer:
=========
Segala hal yang disebutkan dan dihadirkan dalam konten (tulisan/video) ini berstatus opini, dengan penyajian yang tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah serta senantiasa menjunjung tinggi etika komunikasi ruang publik dan/atau pedoman jurnalistik yang kesemua hal tersebut di atas termuat, diatur dan dijamin sepenuhnya oleh Undang-Undang

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Luar biasa banget. Terima kasih banyak ya. Ini amatan dan pengingat yang sangat baik, tentang pentingnya memelihara akun sosial media, agar tetap dan terus memberi manfaat dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Sukses mas Kiai

SEEROY mengatakan...

Terimakasih kembali Cak Kiai. Sukses dan sehat selalu