KRITIK ATAS (KRITIKAN) FILM "MERAH PUTIH ONE FOR ALL"


Ramainya hujatan terhadap film "Merah Putih One for All" nunjukin kita satu hal: sebagian besar orang masih bingung bedain antara “gue nggak suka” sama “ini jelek dan memalukan.” Film (animasi) itu prosesnya wow, modal dan SDM-nya wuih. So, nggak elok kalau cuma dinilai dari hasil akhirnya doang. Kritik boleh, tapi kalau cuma nyinyir tanpa ngerti konteks, ya percuma.


Jujurly, yang kita simak bukan cuma soal kualitas animasi loh, tapi benturan ekspektasi. Aneka hujatan yang beredar itu jadi kayak nonton lomba balap karung tapi komentarnya pakai standar Formula 1. Akui deh, kita belum jadi bangsa yang mampu bikin standarnya sendiri. Dan faktanya, yang katrok bukan cuma animasi film itu sendiri, tapi juga mental kita yang nggak sabar memberi ruang tumbuh buat kreator (yang juga sering banget lupa bahwa orisinalitas itu genting, otentisitas itu harga diri).


Publik sudah terpapar standar global, sementara industri lokal masih berjuang di realitas produksi: dana terbatas, SDM belum mapan, dan ekosistem kreatif yang penuh karut-marut. Menertawakan ini itu gampang. Memahami akar masalahnya jauh lebih susah. Apalagi kalau pakai standar impor buat nyinyirin karya lokal, ya nggak bakalan sehat. Kalau mau maju, kritiknya harus nyampein “gimana caranya biar besok nggak katrok lagi.” Kita butuh kritik yang ngebangun, bukan sekadar flexing pengetahuan pop culture Barat. Kalau mau animasi Indonesia maju, jangan cuma ikut standar impor tapi bangun juga standar lokal yang sehat dan kuat. Berani?


Katrok itu bisa di-upgrade asal ekosistemnya dibangun: SDM, pendanaan, riset, bahkan pola konsumsi penonton harus terus disehatkan. Kalau mau Indonesia maju di dunia animasi, jangan cuma jadi penonton cerewet. Jadi penonton cerdas, yang tahu bedanya kritik membangun sama komentar toxic. Kalau cuma berhenti di olok-olok dan ejekan, sama aja lo dorong orang jatuh ke jurang sambil teriak “ayo bangkit!”

POLITIK SUARA & PROSTITUSI MUSIK DI INDONESIA: MENYIBAK SKANDAL "MISS PAYOLA"


Akhirnya Lagu itu Jadi Lagu "Favorit" Kita Semua, Tapi Kok Berasa Bukan Kita yang Milih Ya?

Lo pasti sering dong dengar sebuah atau beberapa lagu tertentu diputar secara intens di radio, mal, kafe, IG, TikTok, bahkan di angkot. Tapi lo pernah kepikiran gak: pemutaran lagu terpilih itu idenya siapa sih sebenernya? Siapa yang milihin? Pilihan publik... atau pilihan siapa?

Pernah gak kita denger lagu yang dari segi tema, lirik, musik, bahkan vibe-nya tuh menurut kita ya... b aja? Tapi entah kenapa ya, kok lagu itu kedengeran mulu saban pagi, siang, sore, dan malam. Diputar di mana-mana: di radio, kafe, kantin sekolah, barbershop, sampe di warung ayam geprek kesukaan kita. 

Pernahkah kita bertanya kenapa bisa begitu?


Yap. Kita hidup di abad dimana selera publik bisa dibentuk, kesukaan bisa diarahkan. Apa-apa yang 'naik daun' atau viral seringkali tidak selalu terangkat melalui proses yang natural dan organik. 

Yap. Kita hidup di zaman yang serba lucu campur ngeselin. Zaman dimana pilihan pemutaran lagupun bisa diarahkan, dipesan atau dibeli, ranking chart bisa dimanipulasi, slot manggung bisa dibuat "aman terkendali". Lo pikir lo nikmatin lagu karena selera lo? Hihihi, nggak, Bro. Seringnya, lo lagi dicekokin, ya kan? Dan di tengah semua itu, kita para pendengar, penikmat, bahkan juga pelaku musik sendiri, tanpa sadar sudah menjadi “korban” dari kebangetan-kebangetan yang "nggak banget" ini.


Politik Suara: Siapa yang Nentuin "Playlist" Kita?

Pernah gak lo ngerasa sebel waktu nyetel radio eh tau-tau lagu yang diputar itu lagi, itu lagi? Terus lo mikir: “Apakah ini selera masyarakat? Atau ini playlist yang dibentuk sama yang punya kuasa menentukannya, memutarkannya?”

Yeah ... Selamat datang di ranah yang kita sebut politik suara. Dan salah satu praktik paling "suek" di dalamnya adalah: Payola. Ya, dialah Miss Payola.