TELAAH KRITIS PERTUNJUKAN OLAHRAGA DAN SENI

Pertunjukan olahraga? Olahraga kok pertunjukan?

     Ya, tidak ada masalah pada kalimat di atas jika kita sejenak pelan-pelan memikirkan dan merenungkannya lebih dalam, luas dan menyeluruh. Mari kita coba ulas secara ringkas-padat-cepat: sekali duduk.

     Pertunjukan, sederhananya mensyaratkan empat hal: penyaji, penyimak, tatap muka secara langsung (realtime/live) dan venue  (arena). Pada sisi penyaji tentu saja melekat atau terdapat ‘materi yang disajikan’, sementara penyimak mendapatkan ‘materi sajian yang disimak’. Peristiwa penyajian dan penyimakan dan segala sarana-prasarana serta mekanisme yang melingkupi dan menunjangnya sering disebut sebagai event; acara; program. Disebut ‘sajian dokumentasi pertunjukan’ jika bukan disajikan secara live: dalam bentuk pemutaran rekaman (gambar, video, audio). Selama empat unsur tersebut di atas ada dan terpenuhi maka suatu ‘peristiwa’ sebagaimana digambarkan di atas dapat kita sebut sebagai ‘pertunjukan’, tak peduli di bidang apa atau terkait apa materi sajiannya: kesenian, olahraga, pendidikan, ajaran, bimbingan, panduan, orasi, data, kritik, informasi, demonstrasi dll. Tampil di muka umum, menyampaikan sesuatu, ada tujuan yang hendak dicapai, disimak orang, sesederhana itulah pengertian pertunjukan. 

     Pertunjukan tetaplah pertunjukan, dengan atau tanpa unsur kompetisi (pertandingan, perlombaan) dalam performanya. Bahkan pada seremonial keagamaan pun sisi “pertunjukan” ada. Oleh karena itu para pelaku seni pertunjukan (musisi, penari, teaterawan, komedian, storyteller), artis, entertainer, selebriti, aktor, penyair, atlet, pendakwah, guru, dosen, pelatih, demonstran, pemandu acara, narasumber, pengarah diskusi, penyaji berita, pengamen, badut, politisi, komandan/petugas upacara dan kontestan lomba sesungguhnya adalah performer yang menggandrungi dan menjalani bidang pertunjukannya masing-masing. ‘Pertunjukan’ tidaklah identik dengan seni dan bukan sesuatu eksklusif miliknya. Dalam ranah seni sendiri tidak semua cabang kesenian berhubungan dengan pertunjukan atau penampilan. Ada banyak sekali kesenian non pertunjukan: seni murni, seni fungsional. Sementara dalam ranah olahraga, hampir dapat dipastikan bahwa 99% geliat kehidupannya bermuara pada show: penampilan lapangan. Meski demikian ada juga olahraga murni dan fungsional sebagaimana yang ada pada seni. 

    Olahraga mensyaratkan adanya gerakan ketangkasan fisik. Olahraga adalah laku gerak kebertubuhan yang intens dan dominan. Jika unsur tersebut minim atau bahkan tidak ada samasekali maka sesungguhnya ia belum dapat disebut sebuah kegiatan olahraga melainkan hanya games atau suatu permainan biasa: catur, bridge, billiard, balap motor/mobil dsb, boleh dianggap setara karambol, congklak, ular tangga, remi, gaplek dsb.  Games dan sport seringkali dianggap sama. Memang ada kendala dalam mengklasifikasikan apakah suatu permainan--apalagi yang melibatkan keaktifan fisik--bisa disebut olahraga atau hanya berkedudukan sebagai ‘permainan’ saja mengingat seringkali keduanya sudah bercampurbaur, melebur jadi satu. Banyak permainan (games) yang melibatkan unsur fisik secara dominan dan bercorak sangat olahragawi, misalnya pada banyak ragam permainan tradisonal anak nusantara: dampu, getok lele, galasin, petak umpet, gobak sodor, taplak bulan, lompat karet, egrang dll. Aneka permainan tradisional khas nusantara tersebut biasanya bukan sekadar permainan yang menyenangkan dan membuat riang tapi juga mendorong ketangkasan fisik dan melatih ketangguhan mental, kebugaran jasmani-rohani, ada unsur pendidikan luhur yang terangkut di dalamnya dan tentu saja tidak hanya terkait perkara kalah-menang. Di sudut lain juga ada kesulitan membedakan mana yang olahraga dan mana yang seni, seperti antara tarian dan senam atau pada beladiri yang mau dikategorikan sebagai olahraga atau malah seni. 

     Olahraga  dan seni pada dasarnya adalah siasat permainan gerak, bentuk, rupa, olah perasaan dan pikiran. Baik olahraga ataupun seni keduanya sama-sama permainan, maka ada istilah pemain basket, pemain gitar dsb.  Ditinjau dari sisi permainan, ada satu hal yang cukup tegas membedakan antara olahraga dan seni, yakni aspek kompetisi: unsur perlombaan, nuansa pertandingan. Dalam olahraga selalu ada unsur kompetisi: melekat inheren pada dirinya sendiri. Artinya, olahraga pada umumnya, kecuali olahraga murni dan fungsional, adalah permainan yang diperlombakan atau perlombaan permainan. Segala hal yang melingkupi permainan (baca: pertandingan) dalam suatu cabang olahraga memiliki dasar rasionaliasi yang tegas, sangat terukur, punya aturan yang biasanya memuat hal-hal yang sangat kuantitatif--jarang kualitatif. Ada serangkaian kesepakatan baku dalam permainan yang harus dijalankan dan diindahkan setiap pemain dan tim penilai (baca: performer panggung permainan olahraga) yang merupakan syarat mutlak terselenggaranya pertunjukan olahraga tersebut. Karena kuatnya pendekatan kuantitatif-kompetitif yang digunakan dalam permainan olahraga, maka skor atau capaian angka-angka menjadi tujuan utama, berujung pada tiga buah status kemungkinan pencapaian akhir: kalah, menang atau seri. Olahraga adalah bidang yang sangat kuantitatif-objektif, cenderung bernuansa hitam-putih; tegas terhadap perkara salah-benar dan menang-kalah. Di sisi lain ada pula olahraga yang murni sebagai olahraga, bukan sebagai permainan apalagi pertunjukan. Menurut penulis, olahraga murni nan hakiki hanya ada tiga: jalan kaki, lari dan senam (gymnastic; sit up; pull up; squat jump; push up; senam kebugaran jasmani), yang tentu saja bukan dalam konteks dikompetisikan. Ketiganya murni bermotivasi 'cari sehat', benar-benar bertujuan memperoleh kebugaran jasmani dan kesehatan jiwa-raga, sangat ngeklik dan matching dengan motto mensana in corpore sano. Sampai di sini juga dapat disimpulkan bahwa dalam olahraga dan seni ada dua jenis pertunjukan:  pertunjukan murni dan pertunjukan kompetisi “adu kehebatan”.

     Beralih ke seni. Berbeda dengan olahraga, permainan seni bersifat lebih terbuka, tidak memiliki keterukuran ketat, lebih condong bersifat kualitatif-reflektif, tidak rekoris atau berorientasi skor dan bukan bertujuan menang-kalah-seri. Sesungguhnya aspek kompetisi sangatlah sulit untuk berlaku dalam dunia kesenian karena sejatinya kesenian memang tidak bisa diperlombakan. Adalah perkara rumit, berat dan pelik, atau boleh disebut masih jauh dari mungkin untuk kita menemukan pandangan yang benar-benar universal, parameter objektif, metode pengukuran yang presisi, cara dan formulasi ideal  atau kesepakatan resmi dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hasil seni: memperlombakan kelezatan kuliner, mengkompetisikan nilai kecantikan wajah, mempertandingkan tata busana, mengukur keanggunan liuk tari, menentukan taraf menang-kalah suatu alunan musik, memberikan skor pada untaian puisi? Disadari atau tidak, kita telah lama terbiasa “memaksa” mengkompetisikan sesuatu yang memang sejatinya bukan untuk diadu: diperlombakan. Ajang kompetisi bukan satu-satunya jalur untuk menghasilkan pencapaian prestasi artistik dalam seni.



 
Olahraga yang Nyeni dan Seni yang Sportif

     Bagaimana jika cabang-cabang dunia olahraga juga mengembangkan pendekatan  kualitatif sebagaimana kesenian? Setidaknya cabang olahraga tinju dan beladiri sudah lama memberikan contoh tersebut di atas: punya parameter angka dan nilai, kompetisinya tidak hanya bertumpu pada skor angkawi tapi juga nilai (value) kualitatif. Seorang pemenang atau juara bukan lagi siapa yang memperoleh angka tertinggi, yang mampu melumpuhkan lawan, yang berhasil membuat kontestan lain menjadi tak berdaya, yang mengumpulkan poin terbanyak, yang paling duluan mencapai garis finish, yang paling unggul dalam kecepatan dst, tapi juga memerhatikan dan menghormati siapa yang paling kreatif; inovatif; tertib; anggun; indah; bijak; paling menginspirasi; paling baik dalam penampilan lomba: best performance

MISTERI HILANGNYA KANAL YOUTUBE DIVPROPAM POLRI

Ilustrasi

Pentingkah Lembaga Negara Ber-media Sosial?

    Merujuk ke depan berbagai situs data statistik yang menyebut bahwa secara keseluruhan Indonesia memiliki 191,4 juta pengguna berbagai platform media sosial, yang berarti setara dengan 68,9 persen dari total populasi, adalah cukup wajar bila semua pihak baik individual maupun institusional terkondisikan untuk merasa penting ikut terjun dalam belantara dunia maya dengan berbagai latar kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Sebut saja YouTube, Twitter, Facebook, Instagram, WhatsApp, TikTok, Telegram dan Zoom, mewakili ratusan platform medium interaksi daring yang berlaku umum dan beramai-ramai rutin diakses dan seolah ‘wajib di-install’ di berbagai gawai. Intensitas dan keaktifan dari akun-akun daring masyarakat Indonesia tentu saja variatif-fluktuatif. Dikutip dari situs katadata.co.id, Indonesia menempati posisi ke-10 dalam daftar peringkat penggunaan media sosial dengan durasi rata-rata 3,2 jam per hari. Terbilang cukup eksis. Menuai (atau malah menghindari) ke-viral-an dan sorotan media adalah impian dan/atau tujuan banyak orang, tidak terkecuali lembaga resmi negara. Di era euforia kebebasan dimana terjadi keberlimpahan data dan banjir informasi ini, munculnya analis dadakan; pengamat instan; mendadak detektif; figur komentator; penyidik swasta; insan spekulan dan kreator liar bukanlah hal baru dan sepenuhnya buruk. Setidaknya hal itu menandaskan bahwa publik telah menjalankan fungsi dan peran pengawalan serta kontrolnya terhadap praktek demokrasi dengan cukup baik, meski tentu terdapat banyak sekali catatan. Profil the power of civil society juga tercermin dalam citizen journalism, yang di Indonesia nyatanya masih bersyarat.

        Berbicara seputar interaksi virtual dan video sharing via laman/aplikasi raksasa bernama YouTube, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna YouTube yang sangat besar: menempati peringkat terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Medium publikasi massa dengan mode kanal berbagi video ini terus menjadi pilihan favorit belakangan ini, selaras dengan habitus masyarakat Indonesia yang boleh dibilang lebih gemar menonton video dan cenderung nyaman terhadap materi audio-visual daripada membaca tulisan naratif panjang, terlebih jika berkaitan dengan isu-isu serius berskala nasional.

    Jika dicermati, nyaris tidak ada lembaga negara berikut sub-subnya yang tidak memiliki akun YouTube. Berbagai bentuk sosialisasi, pengumuman rencana, pencapaian-pencapaian kerja, jajak pendapat, ajang lomba, sayembara dll terjadi dan terekam di sana. Akun-akun media sosial lembaga negara juga sudah lama dijadikan media interaksi publik--bahkan dianggap rujukan resmi--untuk berbagai persoalan serius yang memang sengaja diulas dan disajikan kepada publik melalui kanal-kanal digital tersebut. Juga tak terhitung berapa banyak aneka rilisan berita media massa berbentuk rangkaian kutipan dilengkapi narasi yang dinukil dari aneka posting media sosial; dirujuk dari cuitan, feed, story dan rilisan video. Di sisi lain beragam materi interaksi dunia maya itu juga menjadi rekam jejak virtual/artefak digital yang bisa sangat berguna untuk berbagai keperluan analitik-investigatif. Peluang besar dan dampak positif tentu akan terbuka lebar jika digunakan secara optimal.

    Namun disayangkan sebagian besar akun-akun media sosial lembaga-lembaga resmi negara belum dapat dikatakan sepenuhnya “berstatus resmi” (semi official), pengelolaannya pun belum dirasa maksimal. Sebagai ilustrasi lanjutan dan bahan refleksi, kita bisa mengupasnya melalui pertanyaan: mengapa berbagai akun media sosial yang dianggap resmi dinisbatkan kepada para pemimpin negeri, bahkan sampai sosok RI 1 sekali pun, masih menggunakan atribusi pribadi (baca: namanya sendiri) bukannya menggunakan nomenklatur jabatannya sebagai sosok pelayan publik yang jika saja akun tersebut beratribut kelembagaan ketimbang pribadi tentu akun “resmi” itu dapat terus eksis secara official meski kursi jabatannya telah berganti orang: diduduki oleh siapapun? Sesederhana urusan (nama) akun perbankan suatu lembaga yang tidak boleh menyematkan nama pribadi melainkan institusi. Akun media sosial sebuah institusi sama penting dan resminya sebagaimana halnya kertas kop dan stempel lembaga, demikian idealnya.

    Apakah kita masih bingung memilah urusan dan mendudukkan antara perkara privat dan relasi kelembagaan? Atau masih mengandalkan sebentuk aturan tak tertulis? Apakah sudah dirumuskan aturan dan ketentuan mengenai grup WhatsApp/Telegram aparatur negara? Bukankah lebih elok menggunakan istilah ‘@Bupati_Trenggalek’ dalam menamai akun ketimbang menyematkan nama pribadinya? Tak harus selalu “politis” kan? Bagaimana cara menamai suatu akun media sosial sebuah institusi negara? Siapa yang berhak dan/atau berkewajiban mengelolanya? Tupoksinya siapa?

    Fakta tak terelakkan tersebut di atas merupakan indikasi kuat atau sekurangnya dugaan awal atas kekurangsi(g)apan kita menjawab tantangan global: mengimbangi perkembangan teknologi informasi, yang secara tak langsung juga membuktikan bahwa status dan tata kelola media sosial milik stakeholder negara belum secara resmi diatur, minimal pedoman etiknya.

    Apakah dilema di atas juga melanda akun media sosial (YouTube) Divisi Propam Mabes Polri yang sempat dipimpin Irjen Ferdy Sambo yang sekarang berstatus sebagai tersangka kasus pembunuhan seorang aparat penegak hukum? Akun YouTube sub lembaga negara tersebut dikabarkan hilang dari peredaran. Kok bisa?



Fakta Baru Seputar Mega Kasus Ferdy Sambo Cs dan Hilangnya Kanal YouTube Divisi Penting yang Kemarin Ia Pimpin

    Kasus besar di lingkungan internal lembaga penegak hukum (Polri) bukanlah hal baru. Kini melibatkan seorang jenderal bintang dua, mantan punggawa divisi ‘polisinya para polisi’ di Mabes Polri, Irjen (Pol) Ferdy Sambo. Sampai saat tulisan ini dibuat proses penanganan kasus ‘polisi tembak polisi’ ini sudah menginjak paruh akhir bulan ke-2. Lima orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dengan sangkaan pembunuhan berencana. Yang paling belakang menyandang status tersebut adalah istri Sambo sendiri yang sebelumnya bermain sandiwara korban pelecehan seksual. Tanpa mengurangi empati, sesungguhnya kasus ini adalah

WAFATNYA GURU DAN MURID BANGSA SERTA KRISIS KETELADANAN BERMEDIA


Berita Dukacita

        Rasa dan peristiwa duka cita atas meninggal dunianya seseorang tercinta tentu terjadi setiap hari di muka bumi (nusantara). Kabar beritanya kerap muncul dalam deretan posting di berbagai platform media, sebagaimana juga tersiar melalui toa-toa mushola atau masjid dan aneka medium amplifikasi lainnya: khas Indonesia. Setelah disiarkan dan banyak orang terinformasikan, hal penting berikutnya orang-orang dapat turut mendoakan, belasungkawa dan juga menindaklanjuti urusan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban sepeninggal hidup anak bani Adam. Orang yang kabar wafatnya tersebar sebagian adalah sosok yang kita kenal, sebagian lagi seringkali sebaliknya. Di antaranya pun ada sosok yang barangkali 'bukan siapa-siapa' (nobody) bagi kita tetapi boleh jadi merupakan ‘orang penting' (important person) bagi orang lain. Berita dukacita dan persebarannya ada yang melibatkan sosok penting ternama, namun lebih banyak lagi yang menyangkut kalangan orang biasa pada umumnya. Era informatika menghadirkan peluang yang sama bagi semua orang untuk menyebarkan informasi apa saja seluas-luasnya berikut juga mengupayakannya menjadi trending; hot issue; viral.

        Ahmad Syafi'i Ma'arif, sosok sepuh yang sangat dihormati dan dilabeli sebagai 'Guru Bangsa', alim ulama dan cendekiawan muslim yang sempat atau bahkan selalu menjadi orang nomor satu di lingkungan Muhammadiyah, organisasi massa Islam terbesar ke-2 di Indonesia. Ahmad Syafi'i Ma'arif atau akrab disapa Buya Syafi'i adalah tokoh yang gigih memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, tak kenal lelah menggelorakan wacana dan praktek kebangsaan yang adil bijaksana. Beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ke-Islam-an yang berkemajuan lahir dan batin. Kini beliau tak lagi bersama kita di kehidupan dunia. Sosok sederhana dan terhormat ini telah pergi meninggalkan bumi Indonesia untuk selamanya pada Jumat 27 Mei 2022, di Gamping, Sleman, Yogyakarta pada usia 86 tahun, dikebumikan di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah, Kulon Progo, Yogyakarta. Sulit disebutkan daftarnya, teramat banyak karya, kiprah dan jasa besarnya bagi Islam di nusantara dan seluruh bangsa Indonesia.

        Emmeril Kahn Mumtaz, pria kelahiran New York 25 Juni 1999, putra sulung dari pasangan Ridwan Kamil dan Atalia Praratya, santri sekaligus aktivis sosial, pada medio Juni 2022 namanya sempat menjejali berbagai pemberitaan media massa seantero nusantara. Emmeril, atau akrab disapa Eril, dinilai sebagai anak baik, murid teladan, sekaligus kakak yang sangat baik bagi kedua adiknya, Camillia Laetitia Azzahra dan Arkanan Aidan Misbach. Dalam lawatannya ke negeri Swiss bersama keluarga, Eril mengalami insiden yang membuat dirinya tak dapat menghindar dari tenggelam dan kemudian terbawa arus akibat kian menderasnya aliran air sungai Arae yang kala itu sedang ia renangi bersama banyak orang lainnya. Setelah sepekan dilakukan pencarian, putra sulung Gubernur Jawa Barat ini dinyatakan belum juga dapat ditemukan. Pihak keluarga pun kemudian menyatakan kerelaan dan mengikhlaskan kepergian Eril, selanjutnya kembali pulang ke tanah air sembari terus memantau perkembangan pencarian jasad almarhum. Dan akhirnya jenazahnya berhasil ditemukan. Syahid akhirat, demikianlah kalangan muslim mendefinisikan kepergiannya. Eril wafat di usianya yang ke-23, dikebumikan di pemakaman keluarga di Cimaung, Bandung, Jawa Barat, Senin 13 Juni 2022. Kisah hidup Eril diliputi banyak jejak kebaikan. Setidaknya begitulah banyak orang memberikan kesaksian sepeninggal wafatnya. 


Berjuang dalam Kesunyian

     Sebagaimana Buya Syafii, akun media sosial Eril terbilang jarang aktif mengabarkan update. Kontras dengan kita ataupun anak muda seumuran Eril yang kerap over dalam 'membuka diri' ke khalayak umum dan seringkali merasa penting untuk mengabarkan keseharian, bahkan aktivitas yang sama sekali tak penting untuk orang ketahui. Berjuang dalam kesunyian tanpa riuh publikasi, barangkali itulah yang ditempuh oleh kedua almarhum selama ini. Beliau berdua telah menyajikan segudang prestasi tanpa niat mengukir nama; tanpa jepretan kamera. Ada banyak hal yang memang boleh dan sah saja untuk disiarkan, tapi boleh juga memilih diam-diam. Eril dan Buya patut dijadikan cermin kebersahajaan dalam bermedia (sosial).

Editorial Kewafatan “Biasa” dan “Luar Biasa

     Berbeda dengan pemberitaan atas wafatnya sang Guru Bangsa yang cenderung “tenang”, setidaknya terjadi pada sepanjang dua pekan terakhir di bulan Juni 2022, jagad media mainstream Indonesia cukup riuh oleh berita atas insiden wafatnya Eril. Hal ini berdampak cukup luas terhadap atensi publik. Tak hanya simpati dan empati, curiosity juga mendasari berbagai bentuk sorotan masyarakat dan media terhadap isu ini. Tanpa diduga tiba-tiba banyak orang ikut merasa kehilangan atas kepergian Eril, anak sulung Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan mengekspresikannya di berbagai kanal sharing. Tak pelak 'Demam Eril’ pun seolah "menjangkiti" jagat publikasi massa di berbagai platform media mainstream, terutama yang berbasis internet. Persinggungan dan penekanan pada status ayahnya sebagai pejabat publik–yang bergulat dalam percaturan politik--menjadi keunikan tersendiri dalam pemberitaan. Menjadi bahan publikasi media adalah sebuah konsekuensi logis yang tak terelakkan bagi sosok public figure, baik terjadi secara natural maupun by design; organik atau berbau rekayasa. Insiden kecelakaan wisata yang melibatkan anak seorang pejabat negara tentu akan menjadi perhatian khusus bagi netizen, terlebih lagi awak media, apalagi jika ditambah bahwa pejabat yang bersangkutan menginfokan ihwal peristiwa yang berkaitan dengan namanya kepada khalayak ramai: menggemakan semacam “press release”. Suatu berita memang seringkali meluas karena unsur 'keluarbiasaan', juga sering menonjolkan unsur ‘siapa’ ketimbang berbagai unsur lainnya. Dalam hal musibah yang menimpa Eril, seremonial-editorialnya pun lebih banyak dilakukan dan “diambil alih” oleh media massa ketimbang keluarga yang bersangkutan.

Fakta Krisis Keteladanan Bermedia

        Tanpa bermaksud mengecilkannya, kejadian yang menimpa almarhum Eril yang kemudian menjadi duka bagi kita semua barangkali belum masuk dalam kategori

MENUJU INDAHNYA SUARA MASJID DAN MUSHOLA KITA


Perangkat multimedia telah lama akrab dengan kehidupan keseharian kita. Perkakas tata suara (sound system) juga sudah lama menjadi bagian penting dalam pelaksanaan sebuah acara atau suatu kegiatan, terutama yang melibatkan banyak orang (massa) dalam jumlah besar, termasuk juga agenda peribadatan dan berbagai kegiatan seremonial keagamaan.


Meski demikian pada level operasional praktik terapan penggunaan peralatan pengeras suara dalam kehidupan masyarakat belum dapat dikatakan sepenuhnya optimal: tidak selalu beroperasi secara ideal. Wawasan terkait pemanfaatan teknologi dan teknik operasionalnya masih menjadi PR utama kita bersama. Dalam urusan teknik (audio), masyarakat Indonesia umumnya masih dalam kondisi dijangkiti sindrom twedelities, yakni kecenderungan untuk mengutak-atik berlebihan tanpa didasari pengetahuan terukur dan pengalaman memadai, seperti gampang memutar-mutar knob audio ke kanan dan kiri tanpa tahu fungsi dan tujuan dari apa yang sedang dilakukannya; menekan-nekan tombol ini itu tanpa sesungguhnya paham betul atas apa yang sedang ditekan; mencoba fitur ini itu lebih karena atas dasar perasaan. 


Walhasil, perangkat teknis yang mestinya tersentuh dan terawat secara tepat bisa terancam menjadi lebih singkat umur ekonomisnya, hasil (output) keluarannya pun tentu akan menjauh dari maksimal. Tindakan bernuansa 'aksi penasaran' (untuk tidak mengatakan: 'sotoy') serupa juga mudah sekali ditemukan dalam pengoperasian perkakas elektronik lainnya, penulis pun sempat mengalaminya. 


Segaris lurus antara model pengoperasian dan hasil keluaran, maka sistem penggunaan peralatan tata suara pada ruang publik seyogyanya memang harus menjadi perhatian bersama. Sebagaimana soal ketertiban dan keselamatan berkendara di jalan raya atau himbauan menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya, pedoman, aturan, himbauan dan ketentuan terkait tatanan suara di ruang publik juga sudah lama ada, akan tetapi kita tahu bahwa masih saja ada banyak kendala dalam pelaksanaannya. 


Istilah 'polusi udara' telah akrab di telinga kita, tapi barangkali tidak demikian halnya dengan 'polusi suara'. Padahal ia sama mengganggu dan berbahayanya. Salah satu SOP yang sudah mempedulikannya antara lain misalnya: kewajiban bagi para pekerja lapangan konstruksi; operator mesin; pilot dsb untuk menggunakan ear muff/ear bud untuk menjaga kesehatan indera pendengaran dan juga mental. Itu menyangkut suara yang muncul secara natural sebagai konsekuensi logis dari penyelenggaraan kegiatan kerja, sementara riuh suara (artifisial) yang berasal dari berbagai kegiatan masyarakat seperti hajatan; riuh pasar; deru mesin dan knalpot kendaraan; acara pertunjukan seni; perayaan seremonial keagamaan, sepertinya belum mendapat perhatian merata dan serius dari semua pihak. 


Pengoperasian perangkat audio yang tidak optimal, kurangnya pengendalian tingkat kebisingan suara dan bahkan egosentrisme berbalut religiusitas yang kurang mempedulikan kenyamanan ketertiban, kesehatan lingkungan tentu sangat berpotensi turut menyumbang kenaikan angka tingkat polusi suara, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada terusiknya tatanan harmoni sosial yang selama ini kita bangun. Atas nama ego sektoral kita semua seolah-olah bebas membesarkan level volume mic, amplifier dan speaker. 


Jalan menuju tatanan suara yang tertib, nyaman dan sehat serta pengendalian kebisingan yang optimal sesungguhnya tidaklah rumit. Dimulai dari upaya meningkatkan rasa simpati dan empati terhadap sesama masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan hidup sepertinya sudah lebih dari cukup.


Selaras dengan diterbitkannya surat edaran tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola, medio Februari tahun 2022 ini, sebagai lembaga yang membidangi seni budaya yang akrab dengan perkakas audio dan dunia tata suara, Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan siap bersinergi dengan stakeholder, Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Lembaga Takmir Masjid serta berbagai pihak terkait demi terus terciptanya kenyamanan bersama dan meningkatnya tata suara masjid-musholla yang jauh lebih baik yang tentu saja akan kian mencerminkan wajah Islam yang rahmatan lil 'alamin. Wujud aksi nyatanya bisa berupa penyelenggaraan workshop; pendampingan; pelatihan; lokakarya dsb. Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan dapat menjadi mitra belajar dan berkarya, juga memiliki sumber daya yang cukup mumpuni dalam dunia tata suara (audio engineering). 


**Roy Haris Chandra - Pegiat seni suara, audio engineer, music producer, Ketua Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan

DIKUKUHKAN PADA PERINGATAN HARLAH NU-99, PENGURUS LESBUMI NU TANGERANG SELATAN SIAP GENCARKAN 'DAKWAH KEKINIAN'

     


    Berdasarkan penanggalan Hijriah, di bulan Rajab (Februari) tahun 2022 ini organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, menginjak usianya yang ke-99. Nyaris satu abad sudah NU berkhidmat bagi umat Islam dan bangsa-negara Indonesia. Semarak Harlah NU ke-99 menggeliat dimana-mana oleh para pengurus dan warga Nahdliyin seantero nusantara.

    Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) Tangerang Selatan bersama dengan NU Care Lazisnu Kota Tangerang Selatan yang juga sedang berulang tahun ke-17, turut memeriahkan peringatan harlah NU tahun ini ini dengan menggelar agenda tasyakuran, bincang budaya dan diskusi seputar (seni) entrepreneurship. Acara ini dihadiri para tamu dan undangan dari berbagai komunitas seni budaya dan organisasi kepemudaan di lingkungan Tangerang Selatan: IPNU, IPPNU, Tresna Sundara, GP Anshor-Banser, Kompaq, Himalaya, Mapancas, Alumni PMII, HMI, KNPI Kota Tangerang Selatan dll.


  

     Selain mengilas balik kiprah NU dalam kurun satu abad, agenda 'ngopi bengi' di Saung Kuliner  Mang Ashly (baca: basecamp Lesbumi Tangsel) yang diawali dengan dzikiran dan tahlilan ini juga turut serius membincangkan isu kemandirian ekonomi umat Islam, khususnya di kalangan Nahdliyin, terlebih khusus lagi bagi para Nahdliyin penggelut dunia seni dan budaya.  Para seniman-budayawan (Nahdliyin) dan seluruh hadirin diajak untuk selalu produktif dan lebih serius lagi mengembangkan kreativitas, serta terus menggali berbagai kemungkinan formulasi karya dan peluang usaha kreatif yang lebih berdampak ekonomis, yang pada akhirnya juga akan mendorong terciptanya kesejahteraan umat secara lahir batin, terutama bagi para seniman-budayawan pelaku industri kreatif. Hal yang sama juga ditekankan oleh Ketua NU Care Lazisnu Tangerang Selatan yang juga seniman paduan suara, Mas Ridwan Zein, di sela sambutannya saat ikut membuka acara.

     Tema (seni) entrepreneurship dielaborasi secara apik oleh narasumber, Ustadz Nuryasin, Ketua MWCNU Kecamatan Ciputat Timur, yang juga pengusaha dan aktivis seni dan lingkungan hidup. Sementara wacana Islam dan gerakan seni budaya serta isu kebudayaan nasional diampu oleh peneliti sekaligus calon doktor dalam bidang Islamic cultural studies, Ki Rahmat Hidayatullah MA., dosen ilmu filsafat di Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, seniman musik yang juga penasehat Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan. Diskusi berlangsung asyik dan interaktif antar hadirin  dan narasumber, dipandu dengan jenaka oleh Mas Ipung Republik Sablon, seniman cum pengusaha muda yang juga Wakil Ketua Lesbumi NU Tangerang Selatan.


     Acara 'serius tapi santai' dalam format ngopi-ngopi ini juga disisipi dengan agenda seremonial pengukuhan pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi) Tangerang  Selatan, dipandu langsung oleh para kyai Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Tangerang  Selatan. Dalam sambutannya setelah mengukuhkan pengurus, Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Tangerang Selatan, KH. Abdullah Mas'ud,  menekankan pesan agar Lesbumi NU Tangerang Selatan mampu merespon geliat tantangan era digital: membanjiri internet dengan konten-konten positif bernafaskan Islam aswaja an-Nahdliyah dalam bentuk film pendek, meme, animasi dsb, serta diharapkan mampu mencetak Usmar Ismail (Pahlawan Nasional, Bapak Perfilman Indonesia, Pendiri Lesbumi NU) baru dari lingkungan seniman budayawan NU Tangerang Selatan.



    Senada dengan Ketua PCNU Kota Tangerang Selatan, Ketua Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan yang baru dilantik dan dikukuhkan, Roy Haris Chandra, juga kembali turut menggaungkan ihwal betapa pentingnya upaya menggali pendekatan baru dalam da'wah bil hal. Sebagaimana diteladankan oleh para walisongo, (unsur) seni budaya selalu bisa menjadi medium yang fit dan proper terhadap konteks isu kekinian, terutama berkaitan dengan kalangan muda penerus bangsa. Tangerang  Selatan merupakan kota urban dan wilayah baru yang masih terus bergeliat dalam proses berat pencarian identitas dan jatidiri. Tanpa harus menyampingkan betapa gentingnya isu kearifan lokal, upaya serius untuk terus menemukan cara-cara baru dalam mengampanyekan Islam rahmatan lil 'alamin yang lebih fresh dan cocok dengan corak kosmopolit dari kota Tangerang Selatan akan terus dilakukan oleh Lesbumi. Tidak boleh membiarkan umat Islam Indonesia tergilas arus utama zaman, Lesbumi mesti adaptif: turut hadir mewarnai dan ikut mengendalikannya. Lesbumi NU Kota Tangerang Selatan akan terus berupaya responsif terhadap isu-isu kekinian.



     Dalam kesempatan ini pengurus baru juga 'melelang' kesempatan, menawarkan kepada para warga Nahdliyin atau kaum muslimin Tangerang Selatan yang menggandrungi dunia seni budaya dan  memiliki visi keumatan dan kebangsaan yang sama untuk ikut berperan aktif, mengambil posisi di kepengurusan berbagai divisi yang ada di bawah naungan bendera Lesbumi NU Tangerang Selatan: divisi seni pertunjukan; seni kriya; multimedia; litbang; public relationship.

    Sebagai wujud rasa syukur atas Harlah NU ke-99, acara ditutup dengan seremoni pemotongan tumpeng sekaligus kick off semarak Harlah NU-99 di Kota Tangerang Selatan, diiringi lantunan shalawat dengan gaya karawitan sunda oleh grup musik angklung-calung binaan Mang Ashly, Sekretaris Lesbumi NU Tangerang Selatan, diteruskan dengan agenda santap malam bersama: ngariung ala santri, dilanjutkan 'ngopi bengi' sampai pagi.

**Tim Media Lesbumi NU  Kota Tangerang Selatan**